اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ ۚ
Inna ‘alainā jam‘ahū wa qur'ānah(ū).
Sesungguhnya tugas Kamilah untuk mengumpulkan (dalam hatimu) dan membacakannya.
16-17. Kalau ayat-ayat yang lalu menjelaskan tentang orang-orang yang enggan memperhatikan Al-Qur’an, kelompok ayat ini menjelaskan tentang yang sangat memperhatikan Al-Qur’an. Jangan engkau, wahai Nabi Muhammad, gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an sebelum Malaikat Jibril selesai membacakannya, karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya di dadamu dan membacakannya, sehingga engkau menjadi pandai dan lancar dalam membacanya.
Allah menjelaskan bahwa larangan mengikuti bacaan Jibril ketika ia sedang membacakannya adalah karena sesungguhnya atas tanggungan Allah-lah mengumpulkan wahyu itu di dalam dada Muhammad dan membuatnya pandai membacanya. Allah-lah yang bertanggung jawab bagaimana supaya Al-Qur’an itu tersimpan dengan baik dalam dada atau ingatan Muhammad, dan memantapkannya dalam kalbunya. Allah pula yang memberikan bimbingan kepadanya bagaimana cara membaca ayat itu dengan sempurna dan teratur, sehingga Muhammad hafal dan tidak lupa selama-lamanya.
Apabila Jibril telah selesai membacakan ayat-ayat yang harus diturunkan, hendaklah Muhammad saw membacanya kembali. Nanti ia akan mendapatkan dirinya selalu ingat dan hafal ayat-ayat itu. Tegasnya pada waktu Jibril membaca, hendaklah Muhammad diam dan mendengarkan bacaannya.
Dari sudut lain, ayat ini juga berarti bahwa bila telah selesai dibacakan kepada Muhammad ayat-ayat Allah, hendaklah ia segera mengamalkan hukum-hukum dan syariat-syariatnya.
Semenja k perintah ini turun, Rasulullah senantiasa mengikuti dan mendengarkan dengan penuh perhatian wahyu yang dibacakan Jibril. Setelah Jibril pergi, barulah beliau membacanya dan bacaannya itu tetap tinggal dalam ingatan beliau. Diterangkan dalam hadis riwayat al-Bukhārī bahwa Ibnu ‘Abbās berkata:
فَكَانَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ إِذَا أَتَاهُ جِبْرِيْلُ اِسْتَمَعَ فَإِذَا انْطَلَقَ جِبْرِيْلُ قَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا أَقْرَأَهُ. (رواه البخاري عن ابن عباس)
Setelah perintah itu turun, Rasulullah selalu mendengarkan dan memperhatikan ketika Jibril datang, setelah Jibril pergi beliau membacanya sebagaimana diajarkan Jibril. (Riwayat al-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās).
1. Nāḍirah نَاضِرَةٌ (al-Qiyāmah/75: 22)
Kata nāḍirah adalah isim fā‘il dari naḍara-yanḍuru-naḍran, naḍratan, naḍāratan, yang berarti segar, bagus, cantik. Dari sinilah berkembang makna nāḍirah yang dalam ayat 22 Surah al-Qiyāmah menjadi berseri-seri, yakni pada hari Kiamat ada wajah-wajah yang berseri-seri.
Dalam Al-Qur’an kata nāḍirah hanya sekali disebutkan dan dalam bentuk lainnya juga disebutkan satu kali yaitu dengan kata naḍratan pada Surah al-Insān/76 ayat 11.
2. Nāẓirah نَاظِرَةٌ (al-Qiyāmah/75: 23)
Nāẓirah merupakan bentuk isim fa‘il dari kata kerja naẓara-yanẓuru yang artinya melihat. Dengan demikian, nāẓirah diartikan sebagai yang melihat. Dalam kaitan dengan maknanya pada ayat ini ada dua pendapat yang saling berbeda. Yang pertama memahami bahwa maknanya adalah sebagaimana arti utamanya, yaitu melihat dengan mata kepala. Dengan arti seperti ini, maka ayat tersebut mengisyaratkan bahwa manusia dapat melihat Tuhan kelak di akhirat. Dalam konteks ayat ini sebagian dari kelompok ini menggarisbawahi bahwa melihat yang dimaksud adalah dengan pandangan khusus. Namun sebagian lagi menyatakan bahwa yang dimaksud adalah melihat dengan mata kepala. Pendapat yang terakhir ini didasarkan pada hadis-hadis yang diriwayatkan sekian banyak orang dan berasal dari beberapa sahabat, antara lain Jarīr bin ‘Abdillāh, Abū Hurairah, dan Abū Sa‘īd al-Khudrī. Di antaranya adalah yang diriwayatkan al-Bukhārī dari Jarīr bin ‘Abdillāh bahwa Nabi saw duduk bersama sahabat-sahabat saat bulan purnama, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan kamu sebagaimana kamu melihat bulan purnama ini.”
Sementara itu, kelompok kedua memahami nāẓirah bukan dalam arti melihat, tetapi dalam arti menunggu. Arti menanti ini diambil karena juga merupakan salah satu makna dari kata tersebut. Yang dimaksud pada ayat ini adalah menunggu nikmat-nikmat Allah. Pemaknaan seperti ini, menurut mereka, didasarkan pada argumen bahwa mata manusia yang bersifat materi tidak akan mampu melihat Tuhan yang immateri. Selain itu ada pula ayat yang menguatkan pendapat bahwa mata itu tidak dapat menjangkau Tuhan, seperti firman Allah pada Surah al-An‘ām ayat 103, yaitu: “Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menjangkau segala penglihatan, dan Dialah Yang Maha Tersembunyi lagi Maha Mengetahui.”

