بَلٰى قٰدِرِيْنَ عَلٰٓى اَنْ نُّسَوِّيَ بَنَانَهٗ
Balā qādirīna ‘alā an nusawwiya banānah(ū).
Tentu, (bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.
3-4. Atas penegasan tentang kepastian hari Kiamat mestinya manusia percaya, tetapi banyak yang ingkar. Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali tulang-belulangnya yang telah berserakan setelah kematiannya? Jangankan hanya mengumpulkan kembali tulang-belulang, bahkan Kami mampu menyusun kembali jari jemarinya dengan sempurna.
Diriwayatkan bahwa ayat ke 3 dan ke 4 ini diturunkan karena ulah dua orang yang bernama ‘Adiyy bin Abī Rabī‘ah bersama Akhnasy bin Syuraiq. ‘Adiyy pernah menjumpai Rasulullah dengan bertanya, “Hai Muhammad, tolong ceritakan kepadaku kapan datang hari Kiamat dan bagaimana keadaan manusia pada waktu itu?” Rasulullah saw menceritakan apa adanya. ‘Adiyy menjawab pula, “Demi Allah, andaikata aku melihat dengan mata kepalaku sendiri akan hari itu, aku juga tidak akan membenarkan ucapanmu itu dan aku juga tidak percaya kepadamu dan kepada hari Kiamat itu. Apakah mungkin hai Muhammad, Allah sanggup mengumpulkan kembali tulang-belulang manusia?” Kemudian turunlah ayat ke 4 di atas yang menegaskan kekuasaan Allah sebagai jawaban terhadap pertanyaan ‘Adiyy bin Abī Rabī‘ah dan orang-orang yang bersikap seperti dia.
Untuk menghilangkan keragu-raguan itu, Allah menegaskan sebenarnya Dia berkuasa menyusun (kembali) jari-jemari manusia dengan sempurna. Bahkan Allah sanggup mengumpulkan dan menyusun kembali bagian-bagian tubuh yang hancur sekalipun itu adalah bagian terkecil seperti jari-jemari yang begitu banyak ruas dan bukunya. Andaikata Allah tidak mempunyai ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang sempurna, tentu tidak mungkin Allah bisa menyusunnya kembali. Ringkasnya sebagaimana tulang-belulang dan jari-jemari itu tersusun dengan sempurna, maka Allah sanggup mengembalikannya lagi seperti semula.
1. An-Nafsul-Lawwāmah النَّفْسُ اللَّوَّامَةُ (al-Qiyāmah/75: 2)
Kata al-nafs berasal dari fi‘il (kata kerja) nafasa yang berarti “bernapas”. Arti kata tersebut berkembang, sehingga ditemukan arti-arti yang beraneka ragam seperti: menghilangkan, melahirkan, bernapas, jiwa, roh, darah, manusia, diri, hakikat, dan sebagainya.
Kata an-nafs dengan segala bentuknya terulang 313 kali di dalam Al-Qur’an, termasuk dalam Surah al-Qiyāmah ayat 2. Sebanyak 72 kali di antaranya disebut dalam bentuk nafs yang berdiri sendiri.
Sedangkan kata lawwāmah terambil dari kata: lāma-yalūmu-lawman yang berarti “mengecam”. Yang dimaksud di sini adalah menyesal sehingga mengecam diri sendiri. Kata lawwāmah hanya satu kali disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu pada Surah al-Qiyāmah ayat 2.
Dengan demikian, maka makna kata an-nafsul-lawwāmah dalam Surah al-Qiyāmah ayat 2 diartikan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri. Jiwa yang menyandang sifat an-nafsul-lawwāmah berada di antara dua jiwa lainnya, yaitu al-muṭmainnah, yakni yang selalu patuh kepada tuntunan Allah dan merasa tenang dengannya, dan al-ammārah, yakni yang selalu durhaka dan mendorong pemiliknya untuk membangkang perintah Allah dan mengikuti nafsunya.
2. Banānahu بَنَانَهُ (al-Qiyāmah/75: 4)
Kata banānahu terdiri dari dua kata, yaitu banān dan al-hā' (kata ganti kepunyaan orang ketiga tunggal), yang berarti jari-jarinya. Kata banān adalah bentuk jamak dari banānah, yang berarti jari, ujung jari. Yang dimaksud dalam Surah al-Qiyāmah/75: 4 ini adalah tulang-tulang kecil yang terdapat pada ujung jari-jari kaki dan tangan.
Kata banānahu hanya satu kali disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu pada Surah al-Qiyāmah/75: 4. Sedangkan dalam bentuk berdiri sendiri tanpa disandarkan dengan kata lain, yaitu banān juga disebutkan hanya 1 kali dalam Al-Qur’an yaitu pada Surah al-Anfāl/8: 12.
3. Ma‘āżīrahu مَعَاذِيْرَهُ (al-Qiyāmah/75: 15)
Kata ma‘āżīrahu terdiri dari dua kata yaitu ma‘āżīr dan al-hā' (kata ganti kepunyaan orang ketiga tunggal), yang berarti alasan-alasannya atau argumentasi-argumentasinya. Kata ma‘āżīr adalah bentuk jamak dari kata ma‘żirah. Kata ini pada mulanya digunakan dalam arti alasan atau argumentasi, kemudian kata ini digunakan dalam arti upaya menutupi atau memberi argumentasi untuk menampik kecaman atau siksaan.
Kata ma‘żirah dengan beberapa bentuk lainnya disebutkan dua belas kali dalam Al-Qur’an, antara lain disebutkan dalam Surah (al-Qiyāmah) ayat 15, yaitu dengan kata ma‘āżīrahu. Dari ayat-ayat tersebut, sebagian besar maknanya adalah suatu alasan yang ditujukan kepada Allah dan nabi-Nya supaya dapat dikeluarkan dari api neraka atau dimaafkan dari kesalahan. Akan tetapi, kata ma‘żirah atau ‘użur digunakan untuk pemberian alasan yang tidak dapat diterima Allah.

