اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ
Ilā rabbihā nāẓirah(tun).
(karena) memandang Tuhannya.
22-23. Setelah mengecam orang yang durhaka, ayat ini menjelaskan tentang keadaan manusia di akhirat sesuai dengan amalnya ketika di dunia. Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu di akhirat berseri-seri karena rasa bahagia yang ada padanya ketika memandang Tuhannya.
Ayat ini menerangkan sebagian hal ihwal manusia pada hari kebangkitan saat wajah-wajah orang beriman pada waktu itu berseri-seri. Golongan yang gembira dan berwajah ceria inilah calon penghuni surga. Merekalah yang berwajah cerah yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya.
Di mana pun mereka dapat melihat-Nya. Artinya mereka langsung memandang kepada Allah tanpa dinding pembatas (hijab). Demikian kesimpulan pendapat ulama ahli sunnah berdasarkan hadis-hadis sahih yang menerangkan lebih lanjut tentang makna melihat Tuhan yang disebutkan dalam ayat ini. Dikatakan bahwa orang yang beriman yang beruntung melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri pada hari akhirat sebagaimana mereka melihat bulan purnama yang bersinar terang benderang yang tidak ada awan di bawahnya. Hadis al-Bukhārī yang menyebutkan hal itu berbunyi:
اِنَّكُم سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عَيَانًا كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ لَا تُغْلَبُوْا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوْا. (رواه البخاري ومسلم عن جرير بن عبد الله)
Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu dengan mata kepalamu sendiri (terang-terang) sebagaimana kamu melihat bulan (purnama), kamu tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya. Jika kamu mampu tidak meninggalkan salat sebelum terbit matahari dan terbenam matahari maka lakukanlah. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Jarīr bin ‘Abdillāh)
Sekalipun ada keterangan yang jelas dari ayat 22 ini yang diperkuat dengan beberapa hadis di atas yang menegaskan bahwa manusia mukmin nanti melihat sendiri wajah Allah itu, namun sebagian dari ulama salaf mencoba mentakwilkan (memalingkan) pengertian ayat dan hadis-hadis tersebut. Mujāhid (seorang tabiin yang terkenal) berpendapat bahwa arti melihat Allah di dalam surga adalah “melihat pahala yang ada di sisi Allah”. Namun hal demikian dianggap tidak berdasarkan alasan yang kuat, sebab kata-kata “naẓara” (melihat) dalam bahasa Arab betul-betul berarti melihat dengan mata kepala sendiri bukan melihat dengan mata hati dan sebagainya.
Permasalahan tentang “apakah manusia nanti melihat Allah pada hari Kiamat atau tidak?” menjadi persoalan yang diperselisihkan (khilafiah) sejak dari dahulu. Ulama ahli sunnah tetap berpendirian bahwa orang mukmin pasti melihat Allah berdasarkan ayat di atas, ditambah keterangan dari berbagai hadis sahih. Sebaliknya ulama-ulama Mu‘tazilah menegaskan tidak mungkin sama sekali manusia melihat wajah dan zat Allah berdasarkan bunyi ayat ke 103 Surah al-An‘ām: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.
Ayat ini, menurut Mu‘tazilah, terbatas pengertiannya pada melihat nikmat, keridaan, dan pahala yang disediakan Allah. Persoalan akhirat adalah persoalan gaib, tidak dapat kita ukur dalam perbandingan dengan apa yang ada sekarang.
Jalan yang ringkas dan selamat serta tidak terlibat dalam pertikaian yang berlarut-larut itu adalah “mengimani sepenuhnya apa yang diberikan ayat tanpa membahasnya lagi. Bagaimana pengertian yang sesungguhnya, kita serahkan kepada Allah saja. Masih banyak lapangan ijtihad (pemikiran) yang lain bila seseorang ingin mendalami maksud ayat-ayat suci Al-Qur’an.”
Berikut ini kita kutip beberapa hadis tentang melihat Allah di akhirat:
قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ هَلْ تُضَارُّوْنَ فِيْ رُؤْيَةِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ لَيْسَ دُوْنَهُمَا سَحَابٌ قَالُوْا: لَا، قَالَ فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَذَلِكَ (رواه البخاري و مسلم عن أبي هريرة)
Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah apakah kami dapat melihat Tuhan kami di hari Kiamat kelak?” Beliau menjawab, “Apakah sulit bagi kalian melihat matahari dan bulan yang tidak dihalangi oleh awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda lagi, “Demikian pula kamu melihat Tuhanmu.” (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah)
عَنْ صُهَيْبٍ عَنِ النَبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِذَا دَخَلَ اَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ يَقُوْلُ اللّٰهُ تَعَالَى: تُرِيْدُوْنَ شَيْئًا اَزِيْدُكُمْ، فَيَقُوْلُوْنَ : اَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوْهَنَا، اَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنْجِنَا مِنَ النَّاِر، قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا اُعْطُوْا شَيْئًا اَحَبَّ اِلَيْهِمْ مِنَ النَّظْرِ ِالَى رَبِّهِمْ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ اْلآيَةَ: ﴿لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌ﴾. (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Ṣuhaib dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Bila penduduk surga telah masuk ke dalam surga, Allah berfirman, ‘Apakah engkau ingin lagi sesuatu yang hendak Aku tambahkan?’ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau sudah cerahkan wajah kami, bukankah telah Engkau masukkan kami ke dalam surga. Dan telah Engkau lepaskan kami dari api neraka?’ Nabi bersabda dan kemudian hijab pun tersingkap, maka tiadalah sesuatu pemberian yang lebih mereka senangi selain daripada melihat Tuhan mereka.” Kemudian beliau membaca ayat ini (Yūnus/10: 26): lillażīna aḥsanūul-ḥusnā wa ziyādah. (Riwayat Muslim)
1. Nāḍirah نَاضِرَةٌ (al-Qiyāmah/75: 22)
Kata nāḍirah adalah isim fā‘il dari naḍara-yanḍuru-naḍran, naḍratan, naḍāratan, yang berarti segar, bagus, cantik. Dari sinilah berkembang makna nāḍirah yang dalam ayat 22 Surah al-Qiyāmah menjadi berseri-seri, yakni pada hari Kiamat ada wajah-wajah yang berseri-seri.
Dalam Al-Qur’an kata nāḍirah hanya sekali disebutkan dan dalam bentuk lainnya juga disebutkan satu kali yaitu dengan kata naḍratan pada Surah al-Insān/76 ayat 11.
2. Nāẓirah نَاظِرَةٌ (al-Qiyāmah/75: 23)
Nāẓirah merupakan bentuk isim fa‘il dari kata kerja naẓara-yanẓuru yang artinya melihat. Dengan demikian, nāẓirah diartikan sebagai yang melihat. Dalam kaitan dengan maknanya pada ayat ini ada dua pendapat yang saling berbeda. Yang pertama memahami bahwa maknanya adalah sebagaimana arti utamanya, yaitu melihat dengan mata kepala. Dengan arti seperti ini, maka ayat tersebut mengisyaratkan bahwa manusia dapat melihat Tuhan kelak di akhirat. Dalam konteks ayat ini sebagian dari kelompok ini menggarisbawahi bahwa melihat yang dimaksud adalah dengan pandangan khusus. Namun sebagian lagi menyatakan bahwa yang dimaksud adalah melihat dengan mata kepala. Pendapat yang terakhir ini didasarkan pada hadis-hadis yang diriwayatkan sekian banyak orang dan berasal dari beberapa sahabat, antara lain Jarīr bin ‘Abdillāh, Abū Hurairah, dan Abū Sa‘īd al-Khudrī. Di antaranya adalah yang diriwayatkan al-Bukhārī dari Jarīr bin ‘Abdillāh bahwa Nabi saw duduk bersama sahabat-sahabat saat bulan purnama, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan kamu sebagaimana kamu melihat bulan purnama ini.”
Sementara itu, kelompok kedua memahami nāẓirah bukan dalam arti melihat, tetapi dalam arti menunggu. Arti menanti ini diambil karena juga merupakan salah satu makna dari kata tersebut. Yang dimaksud pada ayat ini adalah menunggu nikmat-nikmat Allah. Pemaknaan seperti ini, menurut mereka, didasarkan pada argumen bahwa mata manusia yang bersifat materi tidak akan mampu melihat Tuhan yang immateri. Selain itu ada pula ayat yang menguatkan pendapat bahwa mata itu tidak dapat menjangkau Tuhan, seperti firman Allah pada Surah al-An‘ām ayat 103, yaitu: “Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menjangkau segala penglihatan, dan Dialah Yang Maha Tersembunyi lagi Maha Mengetahui.”

