وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۖ وَلَدَيْنَا كِتٰبٌ يَّنْطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
Wa lā nukallifu nafsan illā wus‘ahā, wa ladainā kitābuy yanṭiqu bil-ḥaqqi wa hum lā yuẓlamūn(a).
Kami tidak membebani seorang pun, kecuali menurut kesanggupannya. Pada Kami ada suatu catatan yang menuturkan dengan sebenarnya dan mereka tidak dizalimi.
Para pendurhaka yang disebut pada ayat sebelumnya boleh jadi menganggap bahwa ajaran agama sangat memberatkan. Untuk Menyanggah anggapan ini Allah berfirman, “Dan Kami tidak membebani seseorang dengan amalan-amalan ibadah melainkan menurut kesanggupannya, maka tidak sewajarnya bila seseorang merasa tidak mampu; dan pada Kami ada suatu catatan yang menuturkan dengan sebenarnya apa saja yang dilakukan oleh manusia, dan mereka tidak dizalimi atau dirugikan dengan bertambahnya dosa atau berkurangnya pahala. Allah tidak akan pernah berbuat zalim kepada manusia, tetapi manusialah yang menzalimi diri sendiri (Lihat juga: Surah Yunus/10: 44).
Dengan ayat ini Allah menjelaskan bahwa sudah menjadi sunnah dan ketetapan-Nya, Dia tidak akan membebani seseorang dengan suatu kewajiban atau perintah kecuali perintah itu sanggup dilaksanakannya dan dalam batas-batas kemampuannya. Tidak ada syariat yang diwajibkan-Nya yang berat dilaksanakan oleh hamba-Nya dan di luar batas kemampuannya, hanya manusialah yang memandangnya berat karena keengganannya atau ia disibukkan oleh urusan dunianya atau tugas tersebut menghalanginya dari melaksanakan keinginannya.
Padahal perintah itu, seperti salat umpamanya amat ringan dan mudah bagi orang yang telah biasa mengerjakannya, bahkan salat itu pun dapat meringankan beban dan tekanan hidup yang dideritanya bila ia benar-benar mengerjakannya dengan tekun dan khusyuk. Muqatil berkata, “Barang siapa tidak sanggup mengerjakan salat dengan berdiri ia boleh mengerjakannya dalam keadaan duduk, dan kalaupun tidak sanggup duduk maka dengan isyarat saja pun sudah cukup.” Karena itu tidak ada alasan sama sekali bagi orang mukmin untuk membebaskan diri dari kewajiban salat, demikian pula kewajiban-kewajiban lainnya, karena semua kewajiban itu adalah dalam batas-batas kemampuannya. Hanya nafsu dan keinginan manusialah yang menjadikan kewajiban-kewajiban itu berat baginya. Maka orang yang seperti ini telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri dan akan mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan atas keingkaran dan keengganannya. Setiap pelanggaran terhadap perintah Allah akan dicatat dalam buku catatan amalnya, demikian pula amal perbuatan yang baik, kecil maupun besar semuanya tercatat dalam buku itu sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
هٰذَا كِتٰبُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۗاِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ٢٩
(Allah berfirman), ”Inilah Kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.” (al-Jāṡiyah/45: 29)
Dan firman-Nya:
وَوُضِع الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْن َ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَاۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًاۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا ࣖ ٤٩
Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, ”Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49)
Mereka akan diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang tertera dalam buku catatan itu dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun.
La Nukallifu (al-Mu’minūn/23: 62)
Nukallifu asalnya al-kulfah akar katanya kaf-lam dan alfa. Al-kalafu artinya kecenderungan atau kesenangan hati kepada sesuatu dan selalu tergantung kepadanya. Wa takallafu syai’ artinya mengerjakan suatu perbuatan yang disenangi dengan susah payah. Dari sini al-kulfah diartikan masyaqqah, kesulitan, sedangkan at-Takalluf diartikan beban. Kata la nukallifu disebutkan dalam Al-Qur’an tiga kali, pada Surah al-An‘ām/6:152, al-A‘rāf/7:42 dan al-Mu’minūn/23:62.
Ayat ini menjelaskan batas-batas yang dituntut dari pelaksanaan kebajikan, karena mereka yang selalu bersegera melakukan kebajikan mungkin memberatkan diri mereka, padahal Allah tidak membebani seorang pun kecuali sebatas kesanggupannya. Hal ini bisa dilihat kalau kita memperhatikan berbagai ketentuan syariat yang disiapkan Allah. Semua ketentuan syariat berkaitan dengan kemaslahatan manusia, baik dalam masalah agama, jiwa, akal, harta benda maupun kehormatan manusia. Jika manusia mau menggunakan akal dan jiwanya, ia pasti dapat memahaminya dengan mudah, apalagi dalam pelaksanaan syariat itu disertai dengan berbagai keringanan, misalnya kewajiban puasa, orang yang sakit atau dalam perjalanan bisa menundanya, orang yang sudah tua tidak mampu berpuasa kewajiban puasanya gugur dan digantikan dengan membayar fidyah.

