اِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًاۙ
Iżā massahusy-syarru jazū‘ā(n).
Apabila ditimpa keburukan (kesusahan), ia berkeluh kesah.
Apabila dia ditimpa sedikit kesusahan atau musibah, dia berkeluh kesah,
Jika manusia ditimpa kesusahan, mereka tidak sabar dan tabah, kadang-kadang berputus asa. Akan tetapi, jika memperoleh rezeki dan karunia yang banyak dari Allah, ia menjadi kikir. Kegelisahan dan kekikiran itu timbul pada diri manusia lantaran mereka tidak beriman dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Ia merasa seakan-akan dirinya terpencil, tidak ada sesuatu pun yang dapat menolongnya dalam kesukaran itu. Namun apabila mendapat rezeki, ia merasa bahwa rezeki itu diperolehnya semata-mata karena usahanya sendiri, tanpa pertolongan dari orang lain. Mereka beranggapan bahwa rezeki dan karunia yang diperolehnya itu bukan karunia dari Allah. Oleh karena itu, timbullah sifat kikir.
Lain halnya dengan orang yang beriman. Ia percaya bahwa segala yang datang kepadanya merupakan ujian dan cobaan dari Allah, baik yang datang itu berupa penderitaan maupun kesenangan. Cobaan itu diberikan kepadanya untuk menguji dan menambah kuat imannya. Oleh karena itu, ia tetap tabah dan sabar dalam menerima semua cobaan, serta bertobat kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya jika ada kesalahan yang telah dilakukannya. Sebaliknya jika ia menerima rahmat dan karunia dari Allah, ia bersyukur kepada-Nya dan merasa dirinya terikat dengan rahmat itu. Kemudian ia mengeluarkan hak orang lain atau hak Allah yang ada dalam hartanya itu, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Ayub:
۞ وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ ۚ ٨٣ فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ فَكَشَفْنَا مَا بِهٖ مِنْ ضُرٍّ وَّاٰتَيْنٰهُ اَهْلَهٗ وَمِثْلَهُمْ مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَذِكْرٰى لِلْعٰبِدِيْنَ ۚ ٨٤
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami. (al-Anbiyā'/21: 83-84)
Orang yang beriman tidak akan bersedih hati dan putus asa terhadap urusan dunia yang luput darinya, dan tidak akan berpengaruh pada jiwanya, karena ia yakin kepada Qada dan Qadar Allah. Belum tentu yang dikira buruk itu, buruk pula di sisi Allah, dan yang dikira baik itu, baik pula di sisi-Nya. Mungkin sebaliknya, yang dikira buruk itu, baik di sisi Allah dan yang kelihatannya baik itu adalah buruk di sisi Allah. Ia yakin benar hal yang demikian, karena dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُ نَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا ١٩
Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (an-Nisā’/4: 19)
Adapun orang kafir tidak mempunyai kepercayaan yang demikian. Mereka tidak percaya bahwa suka dan duka yang didatangkan Allah kepada seseorang merupakan cobaan Allah kepadanya. Mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan malapetaka baginya. Ketika dalam keadaan senang dan gembira, mereka hanya melihat seakan-akan diri mereka sajalah yang ada, sedangkan yang lain tidak ada, sebagaimana firman Allah:
لَا يَسْـَٔمُ الْاِنْسَانُ مِنْ دُعَاۤءِ الْخَيْرِۖ وَاِنْ مَّسَّهُ الشَّرُّ فَيَـُٔوْسٌ قَنُوْطٌ ٤٩ وَلَىِٕنْ اَذَقْنٰهُ رَحْمَةً مِّنَّا مِنْۢ بَعْدِ ضَرَّاۤءَ مَسَّتْهُ لَيَقُوْلَنَّ هٰذَا لِيْۙ وَمَآ اَظُنُّ السَّاعَةَ قَاۤىِٕمَةًۙ وَّلَىِٕنْ رُّجِعْتُ اِلٰى رَبِّيْٓ اِنَّ لِيْ عِنْدَهٗ لَلْحُسْنٰىۚ فَلَنُنَبِّئَن َّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِمَا عَمِلُوْاۖ وَلَنُذِيْقَنّ َهُمْ مِّنْ عَذَابٍ غَلِيْظٍ ٥٠
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya. Dan jika Kami berikan kepadanya suatu rahmat dari Kami setelah ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, “Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan terjadi. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku, sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya.” Maka sungguh, akan Kami beritahukan kepada orang-orang kafir tentang apa yang telah mereka kerjakan, dan sungguh, akan Kami timpakan kepada mereka azab yang berat. (Fuṣṣilat/41: 49-50)
1. Halū‘an هَلُوْعًا (al-Ma‘ārij/70: 19)
Halū‘ berasal dari kata hala‘a-yahla‘u-hal‘an wa hala‘an yang memiliki arti cepat gelisah, keluh kesah, atau berkeinginan meluap-luap semacam sifat rakus. Kata ini hanya terulang sekali dalam Al-Qur’an yaitu dalam ayat ini.
Pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang salah satu karakter yang dimiliki manusia, yaitu diciptakan bersifat halū‘ yaitu senantiasa gelisah, cemas, dan rakus. Kegelisahan ini dijelaskan selanjutnya oleh Allah bahwa manusia ketika disentuh oleh kesusahan, maka ia akan berkeluh kesah, dan sebaliknya jika ia mendapat kebaikan, maka ia akan kikir. Sifat halū‘ ini sebenarnya tidaklah negatif, karena pada dasarnya sesuatu yang tidak didasarkan pada keinginan yang kuat, tentulah tidak akan bisa tercapai. Sifat tersebut yang merupakan naluri manusia adalah cara untuk meraih kebahagiaan dan kesempurnaan wujudnya. Akan tetapi, naluri ini ketika disentuh oleh keburukan dan tidak bisa menyeimbangkannya maka manusia tersebut akan celaka. Begitu juga ketika kebaikan datang padanya dan tidak bisa menyeimbangkannya, maka ia pun akan celaka. Jadi sifat tersebut tercela akibat ulah manusia yang menggunakan nikmat dan cobaan Allah dengan jalan yang tidak sesuai dengan jalan-Nya.
2. Jazū‘an جَزُوْعًا (al-Ma‘ārij/70: 20)
Kata jazū‘ berasal dari kata al-jaz‘, terambil dari kata jazi‘a-yajza‘u-jaza‘an , yang berarti kesedihan yang mendalam. Kata ini merupakan bagian dari kata al-huzn (kesedihan), al-huzn lebih umum sedangkan al-jaz‘ menunjukkan arti sangat (mubālagah). Al-Jaz‘ adalah kesedihan yang bisa memutuskan harapan seseorang dan bisa menimbulkan sifat berkeluh kesah. Asal maknanya adalah memutuskan tali dari tengah-tengahnya. Jaz‘u al-wādi diartikan dengan sungai yang terputus. Al-Jaz‘ juga digunakan untuk kharaj yang berubah warna, seakan-akan warna aslinya terputus. Lahm mujazza‘ diistilahkan untuk daging yang memiliki dua warna. Al-Jāzi‘ sebutan untuk tiang penyangga yang berada di tengah rumah, dinamakan demikian seakan-akan kayu tersebut terpotong. Dari makna-makna ini bisa disimpulkan bahwa kata al-jaz‘ berkisar pada arti keterputusan baik bersifat fisik atau non fisik.
Dalam konteks ayat ini, seperti yang dijelaskan di atas bahwa sifat manusia ketika dia mendapatkan kesusahan atau keburukan maka dia akan berkeluh kesah, merasa sedih dan berputus asa. Ia beranggapan bahwa apa yang dia lakukan, tidak memiliki arti sama sekali tatkala harapannya tidak tercapai. Berkeluh kesah ketika disentuh oleh keburukan akan berakibat pada ketidakseimbangan sifat manusia, dan yang muncul adalah perasaan-perasaan minor dan sikap apatis terhadap sesuatu.
3. Manū‘an مَنُوْعًا (al-Ma‘ārij/70 : 21)
Kata manū‘ berasal dari kata mana‘a-yamna‘u-man‘an yang berarti melarang, antonim dari kata ‘aṭiyyah (pemberian). Rajul māni‘ atau rajul mannā‘ berarti seseorang yang sangat kikir. Māni‘ adalah sesuatu yang terlarang, makān māni‘ (tempat terlarang). Fulan żū manā‘ah berarti seseorang yang memiliki kekuatan untuk bisa melarang). Imraat māni‘ah berarti perempuan yang bisa menjaga dirinya (afifah) dari perbuatan terlarang. Dari sini juga lahir makna mencegah, menampik, dan menghalangi. Sesuatu yang sangat kukuh dan tidak dapat dimasuki disifati dengan māni‘. Dalam Al-Qur’an, kata ini dengan berbagai bentuk turunannya terulang sebanyak 17 kali. Semuanya cenderung negatif, seperti menghalang-halangi mengingat Allah di masjid (al-Baqarah/2: 114), menghalangi orang lain untuk beriman (al-Isrā’/17: 94), enggan melakukan sujud (al-A‘rāf/7: 12), membela orang-orang kafir, tidak mau mengikuti seruan para nabi dan lain-lain. Ada satu kata yang dikemukakan dalam bentuk positif (al-Wāqi‘ah/56: 33), tetapi ini pun diungkapkan dalam bentuk negatif.
Dalam konteks ayat ini, Allah menjelaskan sisi negatif dari manusia yaitu jika ia mendapatkan kebaikan, maka ia akan bersikap kikir (manū‘). Dan memang itulah sifat manusia, jika mendapat kenikmatan atau rezeki, dia akan lupa bersedekah untuk orang lain. Atau ketika kenikmatan didapat, dia lupa bahwa kenikmatan itu datangnya dari Allah sehingga penggunaannya pun tidak sesuai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Atau dia merasa bahwa segala kenikmatan yang didapat adalah hasil dari upayanya sendiri sehingga ia pun menjadi kikir.

