يُبَصَّرُوْنَهُمْۗ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِىِٕذٍۢ بِبَنِيْهِۙ
Yubaṣṣarūnahum, yawaddul-mujrimu lau yaftadī min ‘ażābi yaumi'iżim bibanīh(i).
(padahal) mereka saling melihat. Orang yang berbuat durhaka itu menginginkan sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya,
Sedang mereka saling melihat, mereka semua sadar bahwa ketika itu, tidak berguna lagi bantuan teman dan kerabat. Pada hari itu, orang yang berdosa ingin sekiranya dia dapat menebus dirinya dari azab dengan menyerahkan anak-anaknya,
Pada hari itu, orang kafir mengharapkan agar terlepas dari azab yang mereka derita, dengan menebus diri dengan anak-anak yang mereka banggakan, istri yang mereka cintai, saudara-saudara yang biasa membantu mereka selama hidup di dunia, kaum yang selalu membantu dan melindungi mereka, dan semua manusia yang ada di muka bumi. Karena demikianlah yang biasa mereka lakukan di dunia; menolong teman, keluarga, dan anak-anak mereka, walaupun yang ditolong itu melakukan perbuatan jahat dan zalim.
1. Al-Ma‘ārij الْمَعَارِجُ (al-Ma‘ārij/70: 3)
Al-Ma‘ārij adalah bentuk jamak (plural) dari kata mi‘raj yang berasal dari kata ‘araja-ya‘ruju yang berarti naik ke atas. Dengan demikian, mi‘raj adalah alat yang digunakan untuk naik. Mi‘raj adalah peristiwa naiknya Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. ‘Araja juga diartikan dengan bertempat tinggal sehingga aṭ-Ṭabāṭabā‘ī dalam tafsirnya al-Mīzān memahami al-ma‘ārij dengan maqam (derajat/tempat) para malaikat. Dalam Al-Qur’an, kata ini dengan berbagai bentuk derivasinya terulang sebanyak 9 kali. Kesemuanya digunakan dalam arti naik, sinonim dengan lafal ṣu‘ūd dan antonim dari inzāl (turun), kecuali dalam an-Nūr/24: 61 dan al-Fatḥ/48: 17. Dalam kedua surat tersebut diungkapkan dengan kata al-a‘raj dalam arti orang yang pincang. Dinamakan demikian karena al-a‘raj cara berjalannya seperti seseorang sedang naik atau mendaki.
Dalam konteks ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Pemilik tempat-tempat naik (al-ma‘ārij), yaitu pemilik semua langit yang merupakan sumber kekuatan dan keputusan. Pelakunya adalah para malaikat dan rūḥ untuk menggambarkan betapa sulit dan jauh tempat itu, serta betapa agung Allah. Dari tempat tersebut, malaikat-malaikat dan rūḥ naik kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun dalam hitungan manusia. Para ulama mengartikan kata rūḥ di sini dengan Malaikat Jibril atau jiwa seorang mukmin yang dengan amal salehnya, ia naik kepada-Nya yakni ke tempat turunnya perintah Allah, atau ketinggian yang mampu dicapai makhluk masing-masing sesuai dengan maqam mereka di sisi Allah.
2. Laẓā لَظَى (al-Ma‘ārij/70: 15)
Laẓā terambil dari kata laẓiya-yalẓā-laẓan, yang berarti api murni yang bergejolak. Sifat api ini sangat panas dan bisa membakar apa yang ada atau membakar dirinya sendiri jika tidak ada sesuatu yang dibakar. Laẓa menjadi sebuah nama untuk neraka Jahanam, karena sifat apinya yang bergejolak dan sangat panas. Kata laẓā terulang hanya dua kali yaitu dalam ayat ini dan Surah al-Lail/92: 14 (faanżartukum nāran talaẓẓā).
Pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang siksa yang akan dialami orang-orang kafir. Pada ayat sebelumnya digambarkan mengenai keadaan hari kiamat. Langit yang kelihatan luas dan kokoh akan terburai pada hari itu seperti luluhan perak. Gunung-gunung yang menancap kuat dan kukuh akan hancur seperti kapas yang beterbangan. Pada saat itu, tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penyelamat walaupun teman akrab saat di dunia. Para pendurhaka itu bahkan berharap seandainya anak-anak, teman, istri, dan keturunannya bisa dijadikan sebagai tebusan, tentu akan mereka serahkan asal bisa selamat dari siksaan tersebut. Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa sekali-kali hal tersebut tidak bisa dilakukan, karena pada hari itu tidak ada tawar menawar dan negosiasi. Penyesalan tidak akan ada artinya sama sekali. Bahkan sebaliknya, mereka akan dimasukkan ke dalam neraka yang bergejolak, yang bisa mengelupaskan kulit kepala dan kulit tubuh mereka. Neraka ini disediakan bagi mereka yang membelakangi keimanan dan kebenaran serta yang berpaling dari ajakan Rasul, juga mereka yang mengumpulkan harta dan enggan untuk menafkahkannya.

