وَكَذَّبَ بِالْحُسْنٰىۙ
Wa każżaba bil-ḥusnā.
serta mendustakan (balasan) yang terbaik,
serta mendustakan pahala yang terbaik, yaitu surga di akhirat; atau ingkar kepada Allah, hari akhir, dan apa yang Allah janjikan kepada mereka yang beramal saleh sehingga dia senantiasa melakukan maksiat,
Sebaliknya, ada manusia yang bertingkah laku sebaliknya. Ia bakhil, pelit, tidak mau menolong antar sesama, apalagi mengeluarkan kewajibannya yaitu zakat. Di samping itu, ia sudah merasa cukup segala-galanya. Oleh karena itu, ia merasa tidak memerlukan orang lain bahkan Allah. Akibatnya, ia sombong dan tidak mengakui nikmat-nikmat Allah yang telah ia terima dan tidak mengharapkan nikmat-nikmat itu. Akibatnya ia tidak mengindahkan aturan-aturan Allah. Orang itu akan dimudahkan Allah menuju kesulitan, baik kesulitan di dunia maupun di akhirat. Kesulitan di dunia misalnya kejatuhan, penyakit, kecelakaan, musibah, dan sebagainya. Kesulitan di akhirat adalah ketersiksaan yang puncaknya adalah neraka.
Manusia, bila sudah mati tanpa memiliki amal dan kemudian masuk neraka di akhirat, maka harta benda dan kekayaan mereka tidak berguna apa pun. Hal itu karena harta itu tidak akan bisa digunakan untuk menebus dosa-dosa mereka.
1. Bakhila بَخِلَ (al-Lail/92: 8)
Kata bakhila berasal dari kata bakhila-yabkhalu-bukhlan wa bakhalan yang berarti menahan sesuatu yang tidak berhak ditahan, antonim dari kata al-karam yang berarti pemurah. Al-Bakhīl adalah sebutan untuk orang yang sangat kikir. Bentuk jamaknya adalah bukhalā'. Ada dua macam bukhl yaitu bakhil untuk dirinya sendiri dan bakhil untuk orang lain (an-Nisā’/4: 37). Kata ini dengan berbagai bentuk turunannya terulang sebanyak 12 kali dalam Al-Qur’an. Kesemuanya menunjukkan pada makna kikir. Ayat-ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang kikir, enggan memberi, dan merasa dirinya cukup, tidak membutuhkan sesuatu sehingga mengabaikan orang lain atau mengabaikan tuntunan Allah dan rasul-Nya serta mendustakan kalimat-Nya. Allah akan memudahkan baginya kesukaran, yaitu menyiapkan baginya aneka jalan untuk menuju kepada hal-hal yang mengantarkannya kepada kesulitan dan kecelakaan yang abadi.
2. Istagnā اِسْتَغْنَى (al-Lail/92: 8)
Kalimat istagnā merupakan bentuk fi‘il māḍī dari kata ganiyy yang berarti merasa berkecukupan. Kata ini berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf gain, nūn, dan yā’. Ada beberapa macam pengertian dari kata ini yaitu pertama, tidak membutuhkan sesuatu sama sekali atau tidak menggantungkan kebutuhannya kepada yang lain. Sifat ini hanyalah untuk Allah. Dari sini lahir kata gāniyah sebutan untuk wanita yang tidak kawin dan merasa berkecukupan hidup di rumah orang tuanya atau merasa cukup hidup sendirian tanpa bersuami. Kedua, sedikit sekali kebutuhannya atau merasa cukup. Ketiga, yang terpenuhi segala kebutuhannya.
Di dalam Al-Qur’an, kata istagnā terulang sebanyak 4 kali. Kesemuanya menunjuk pada makna merasa cukup, satu kali dinisbahkan kepada Allah (at-Tagābun/64: 6) bahwa Allah tidak memerlukan mereka dan 3 kali dinisbahkan kepada manusia dalam arti negatif yaitu mereka merasa serba cukup, tidak membutuhkan pertolongan Allah. Dalam Al-Qur’an dan hadis, kalimat ini tidak selalu diartikan dengan banyaknya harta kekayaan. Dalam hadis yang cukup populer, Nabi saw mengatakan bahwa ginā (kekayaan) tidak dinilai dengan banyaknya harta benda tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati.
Kebalikan dari ayat-ayat sebelumnya yang berkenaan dengan akibat baik yang akan diterima bagi siapa yang memberi dan bertakwa, maka ayat ini menjelaskan bahwa bagi orang-orang bakhil lagi kikir dan merasa dirinya serba cukup sehingga tidak membutuhkan Allah dan orang lain, telah disiapkan kesulitan dan kesengsaraan yang abadi.

