v2.9
Geligi Animasi
Geligi Semua Satu Platform
Ayat 7 - Surat Al-Jinn (Jin)
الجنّ
Ayat 7 / 28 •  Surat 72 / 114 •  Halaman 572 •  Quarter Hizb 58 •  Juz 29 •  Manzil 7 • Makkiyah

وَّاَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ اَنْ لَّنْ يَّبْعَثَ اللّٰهُ اَحَدًاۖ

Wa annahum ẓannū kamā ẓanantum allay yab‘aṡallāhu aḥadā(n).

Sesungguhnya mereka (jin) mengira sebagaimana kamu (orang musyrik Makkah) mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkan kembali siapa pun (pada hari Kiamat).

Makna Surat Al-Jinn Ayat 7
Isi Kandungan oleh Tafsir Wajiz

Dan sesungguhnya mereka jin mengira seperti kamu orang kaum musyrik Mekah yang juga mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkan kembali siapa pun pada hari Kiamat untuk dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya.

Isi Kandungan oleh Tafsir Tahlili

Selanjutnya diterangkannya bahwa jin yang tidak beriman itu mengira sebagaimana perkiraan manusia, bahwa Allah tidak akan mengutus seorang rasul pun kepada makhluk-Nya untuk mengajak mereka kepada tauhid dan iman kepada-Nya dan hari kiamat.

Isi Kandungan Kosakata

1. Al-Jinn الجِنُّ (al-Jinn/72: 1)

Dalam ayat ini kata nafarun minal jinni berarti “sekelompok jin.” Nafar artinya “terdiri dari tiga sampai sepuluh.” Jin termasuk jenis makhluk berakal, halus, tak dapat dilihat, lebih menyerupai unsur api atau udara, atau bentuk roh yang tak terikat oleh jasad atau benda kasar. Ini suatu isyarat bahwa Rasulullah tidak melihat mereka dan tidak membacakan ayat-ayat itu kepada mereka, tetapi secara kebetulan pada waktu-waktu tertentu mereka ada di tempat itu dan mendengarkan. Demikian al-Baiḍāwi menafsirkan ayat itu. Menurut al-Bukhārī dan Muslim, dari Ibnu ‘Abbās dikatakan “Rasulullah tidak pernah membacakan (Al-Qur’an) kepada jin dan tidak pula pernah melihat mereka.” Dari keterangan ini dan apa yang kita baca dalam Al-Qur’an, jelas bahwa dengan cara apa pun, makhluk manusia tak dapat melihat dan berhubungan dengan roh-roh gaib, termasuk jin, siapa pun manusianya. Kita percaya, seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadis, bahwa roh-roh gaib, termasuk jin itu ada. Akan tetapi, salah sekali anggapan sebagian orang—sampai sekarang—bahwa manusia dapat melihat dan dapat berhubungan dengan jin, apalagi adanya kepercayaan bahwa orang dapat meminta perlindungannya. (al-Jinn/72: 6)

Surah al-Jinn ini termasuk kelompok surah Makkiyyah yang belakangan, sekitar dua tahun sebelum Nabi hijrah ke Medinah. Pada waktu itu, gangguan Quraisy kepada Nabi dan pengikut-pengikutnya sudah makin memuncak. Nabi pun meninggalkan kota itu, dan pergi hendak berdakwah ke Ṭā’if, sebuah kota sekitar 70 km ke arah timur laut Mekah. Akan tetapi, masyarakat kota ini menolak dan memperlakukan Nabi dengan sangat kejam, sehingga hampir saja ia terbunuh. Dengan perasaan duka dan hati tertekan, Nabi meninggalkan kota itu dan kembali ke kota kelahirannya. “Dalam perjalanan kembali ke Mekah,” kata Yusuf Ali, “suatu penglihatan batin yang sangat cemerlang diwahyukan kepadanya—suatu kekuatan rohani yang tak tampak datang menyertainya—pribadi-priba di yang tak mengenalnya menerima risalahnya itu sementara kaumnya sendiri tetap menolaknya…”

Bila disebutkan “telah diwahyukan kepadaku,” berarti wahyu itu datang melalui berbagai saluran, salah satunya melalui penglihatan. Dengan itu Nabi melihat dan mendengar peristiwa-peristiwa yang jelas sekali berlalu di hadapannya. Penglihatan yang khas ini mungkin sama seperti yang disebutkan lebih singkat dalam Surah al-Aḥqāf/46: 29-31:

وَاِذْ صَرَفْنَآ اِلَيْكَ نَفَرًا مِّنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْاٰنَۚ فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوْٓا اَنْصِتُوْاۚ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا اِلٰى قَوْمِهِمْ مُّنْذِرِيْنَ ٢٩ قَالُوْا يٰقَوْمَنَآ اِنَّا سَمِعْنَا كِتٰبًا اُنْزِلَ مِنْۢ بَعْدِ مُوْسٰى مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِيْٓ اِلَى الْحَقِّ وَاِلٰى طَرِيْقٍ مُّسْتَقِيْمٍ ٣٠ يٰقَوْمَنَآ اَجِيْبُوْا دَاعِيَ اللّٰهِ وَاٰمِنُوْا بِهٖ يَغْفِرْ لَكُمْ مِّنْ ذُنُوْبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِّنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ ٣١

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan kepadamu (Muhammad) serombongan jin yang mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an, maka ketika mereka menghadiri (pembacaan)nya mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)!” Maka ketika telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, “Wahai kaum kami! Sungguh, kami telah mendengarkan Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya, membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Wahai kaum kami! Terimalah (seruan) orang (Muhammad) yang menyeru kepada Allah. Dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Dia akan mengampuni dosa-dosamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. (al-Aḥqāf/46: 29-31)

Jadi jelas bahwa memang ada makhluk jin yang pernah mendengarkan wahyu-wahyu sebelumnya, yaitu wahyu kepada Musa. Dengan penuh hormat mereka memperhatikan sekali pembacaan Al-Qur’an itu. Ayat berikutnya menunjukkan bahwa mereka sudah mendengar tentang agama Yahudi yang dibawa oleh Musa, tetapi mereka sangat terkesan dengan Al-Qur’an ini, dan tampaknya mereka kembali kepada golongannya untuk berbagi berita gembira itu. Sungguhpun begitu, ada juga mufasir yang berpendapat—termasuk Maulana Muhammad Ali dan Muhammad Asad yang tampaknya cenderung demikian—bahwa mereka bukan jin, melainkan “orang-orang asing.” Mereka adalah manusia, orang-orang Yahudi. Imam ar-Rāzi yang membahas ayat ini cukup luas dalam tafsirnya, menyinggung hal ini hanya sepintas lalu. Ia berpendapat bahwa “sekelompok mereka” itu adalah orang-orang Yahudi, dan menambahkan dengan mengutip al-Ḥasan al-Baṣrī bahwa di antara mereka terdapat masyarakat Yahudi, Nasrani, Majusi, dan musyrik. Akan tetapi, sebaliknya kaum musyrik Mekah yang picik dan sudah kental sekali dalam kehidupan takhayul beranggapan bahwa jin itu masih punya pertalian keluarga dengan Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

وَجَعَلُوْا بَيْنَهٗ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَبًا ۗوَلَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ اِنَّهُمْ لَمُحْضَرُوْنَ ۙ ١٥٨

Dan mereka mengadakan (hubungan) nasab (keluarga) antara Dia (Allah) dan jin. Dan sungguh, jin telah mengetahui bahwa mereka pasti akan diseret (ke neraka) (aṣ-Ṣāffāt/37: 158)

Kaum musyrik Mekah juga beranggapan bahwa Allah adalah sekutu-sekutu jin, punya anak-anak laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman-Nya:

وَجَعَلُوْا لِلّٰهِ شُرَكَاۤءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوْا لَهٗ بَنِيْنَ وَبَنٰتٍۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ سُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يَصِفُوْنَ ࣖ ١٠٠

Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin sekutu-sekutu Allah, padahal Dia yang menciptakannya (jin-jin itu), dan mereka berbohong (dengan mengatakan), “Allah mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan,” tanpa (dasar) pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka gambarkan. (al-An‘ām/6: 100)

Bagaimana jin diciptakan dan asal usulnya, siapa mereka? Dalam Surah ar-Raḥmān/55: 15 disebutkan bahwa jin diciptakan dari nyala api, dan malaikat diciptakan dari cahaya, yang juga disebutkan dalam sebuah hadis, seperti dikutip oleh Ibnu Kaṡīr dari riwayat Muslim.

Kata “jin” dari segi etimologi dari akar kata janna-yajinnu, “tertutup atau tersembunyi,” dan janna-yajunnu dalam bentuk aktif, “menutup, menutupi atau menyembunyikan,” (al-An‘ām/6: 76). “Jinn” adalah bentuk jamak dari kata tunggal “jinnah” atau “jān,” dan kata ini asli bahasa Arab, bukan kata serapan dari bahasa asing. Tetapi pengertiannya tidak sama. Di kalangan awam pun sangat beragam, biasanya karena disalahartikan. Mungkin ada sebagian orang yang mengira jin seperti dalam hikayat-hikayat lama atau dalam cerita-cerita fiksi Seribu Satu Malam. Ada yang beranggapan bahwa jin bermukim di gunung-gunung terpencil sebagai penghuni liar, atau bersembunyi di hutan-hutan belantara atau di tengah samudera atau dalam bangunan-bangunan besar yang kosong, dan bermacam kepercayaan mistik lainnya. Orang beriman tentu akan sangat berhati-hati jangan sampai terbawa ke dalam kepercayaan yang menyesatkan. Salah sekali anggapan sebagian orang—sampai sekarang—bahwa manusia dapat melihat dan dapat berhubungan dengan jin, dan seorang wali atau orang sakti dapat memeliharanya untuk dijadikan pelindung atau pembantunya. Tentu ini sangat berlawanan dengan nas dalam Al-Qur’an (al-Jinn/72: 6).

2. Syaṭaṭan شَطَطًا (al-Jinn/72: 4)

Syaṭaṭ artinya “jauh sekali”. Kata kerjanya adalah syaṭṭa. Syaṭṭat ad-dār artinya “tempat itu jauh sekali.” Ayat Surah al-Jinn/72:4: wa innahu kāna yaqūlu safīhunā ‘ala Allāh syaṭaṭān maksudnya adalah bahwa yang picik di antara jin-jin itu mengatakan tentang Allah kata-kata yang jauh sekali dari kebenaran.

3. Rahaqan رَهَقًا (al-Jinn/72: 6)

Rahaq artinya “mengurung dengan paksa”. Misalnya kalimat “rahiqahu al-amr” maksudnya adalah “persoalan itu mengurungnya”, yaitu membuatnya dalam kesulitan. Ayat Surah al-Jinn/72: 6 menjelaskan bahwa manusia yang meminta perlindungan kepada jin, maka jin itu akan membuatnya berada dalam kesulitan dan kecelakaan.