قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Qul huwallāhu aḥad(un).
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa.
Wahai Nabi Muhammad, Katakanlah kepada kaum musyrik yang menanyakan sifat dan nasab Allah dengan tujuan mengejek, “Dia lah Allah, Yang Maha Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak berbilang dalam nama, sifat, dan ketuhanan-Nya.
Pada ayat ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad menjawab pertanyaan orang-orang yang menanyakan tentang sifat Tuhannya, bahwa Dia adalah Allah Yang Maha Esa, tidak tersusun dan tidak berbilang, karena berbilang dalam susunan zat berarti bahwa bagian kumpulan itu memerlukan bagian yang lain, sedang Allah sama sekali tidak memerlukan suatu apa pun. Keesaan Allah itu meliputi tiga hal: Dia Maha Esa pada Zat-Nya, Maha Esa pada sifat-Nya dan Maha Esa pada perbuatan-Nya.
Maha Esa pada zat-Nya berarti zat-Nya tidak tersusun dari beberapa zat atau bagian. Maha Esa pada sifat-Nya berarti tidak ada satu sifat makhluk pun yang menyamai-Nya dan Maha Esa pada perbuatan-Nya berarti Dialah yang membuat semua perbuatan sesuai dengan firman-Nya:
اِنَّمَ ٓ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Sesung guhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (Yāsīn/36 : 82)
1. Aḥad اَحَد (al-Ikhlāṣ/112: 1)
Kata aḥad terambil dari kata waḥdah, yang artinya kesatuan. Kata aḥad menurut pendapat sebagian ulama berbeda dari wāḥid, yang artinya satu. Kata ini merupakan kata bilangan yang selalu akan diikuti dengan bilangan selanjutnya, yaitu dua, tiga, dan seterusnya. Sedangkan aḥad bukan kata bilangan, yang hanya menunjuk kepada sesuatu yang khusus dan tidak dapat menerima penambahan, baik dalam pikiran maupun dalam kenyataan. Oleh karena itu, makna aḥad yang tepat adalah esa atau tunggal.
Kata ini dapat digunakan sebagai nama atau yang menunjuk sifat. Bila digunakan dalam fungsi yang kedua, yaitu sifat, maka hal itu hanya tepat untuk menyifati Allah saja. Pada ayat ini, kata aḥad digunakan untuk menunjuk pada sifat, yaitu sifat Allah. Hal ini berarti bahwa Allah memiliki sifat tersendiri yang unik dan tidak dimiliki oleh yang lain.
Dalam Al-Qur’an Allah juga disifati dengan term wāḥid (lihat al-Baqarah ayat 163). Ulama berpendapat bahwa sifat ini menunjukkan keesaan Zat-Nya yang disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, seperti Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuat, dan lainnya. Sedang kata aḥad (seperti dalam ayat ini) menunjuk hanya pada keesaan Zat tanpa disertai dengan keragaman sifat.
2. Aṣ-Ṣamad الصَّمَد (al-Ikhlāṣ/112: 2)
Kata aṣ-ṣamad terambil dari kata kerja ṣamada-yaṣmadu, yang artinya menuju. Sedang aṣ-ṣamad sendiri maknanya adalah yang dituju. Ada dua pengertian yang populer dari kata ini yang banyak dimaksudkan oleh para penggunanya, yaitu sesuatu yang tidak memiliki rongga, dan sesuatu yang paling tinggi yang menjadi tumpuan harapan. Para ulama yang cenderung pada makna pertama selanjutnya mengembangkan pengertiannya agar sesuai dengan kebesaran yang ada pada Allah. Mereka mengatakan bahwa hal ini berarti sesuatu itu sedemikian padat sehingga ia tidak membutuhkan sesuatu lain untuk dimasukkan ke dalam dirinya, seperti makanan atau minuman. Sedang yang lebih memilih makna kedua kemudian merujuk pada riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa sesuatu itu merupakan tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan telah mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan telah mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan telah mencapai puncak kesantunan, yang mengetahui dan telah sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tidak ada cacat pada kebijaksanaannya.
Di antara kedua makna ini, yang lebih disepakati oleh mayoritas ulama dan mufasir adalah pengertian yang kedua, yaitu bahwa Allah adalah Zat yang menjadi tujuan harapan semua makhluk, Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan semua makhluk dan penanggulangan semua kesulitan mereka.

