ذٰلِكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الْغَيْبِ نُوْحِيْهِ اِلَيْكَ ۗوَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ اِذْ يُلْقُوْنَ اَقْلَامَهُمْ اَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَۖ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ اِذْ يَخْتَصِمُوْنَ
Żālika min ambā'il-gaibi nūḥīhi ilaik(a), wa mā kunta ladaihim iż yulqūna aqlāmahum ayyuhum yakfulu maryam(a), wa mā kunta ladaihim iż yakhtaṣimūn(a).
Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad). Padahal, engkau tidak bersama mereka ketika mereka melemparkan pena91) mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam dan engkau tidak bersama mereka ketika mereka bersengketa.
Beberapa kisah yang dikisahkan di dalam Al-Qur’an itulah sebagian dari berita-berita gaib yang besar dan agung yang Kami wahyukan kepadamu, Nabi Muhammad, padahal engkau tidak bersama mereka ketika mereka melemparkan pena, suatu alat untuk mengundi. Dengan alat itu, mereka mengundi siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau pun tidak bersama mereka ketika mereka bertengkar untuk memperoleh kemuliaan tersebut yaitu pengasuhan Maryam.
Ayat ini ditutup dengan mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad bahwa cerita itu termasuk cerita yang belum diketahuinya, sedang hal itu sesuai dengan isi Kitab Taurat.
Allah menyatakan dalam ayat ini bahwa apa yang telah dikisahkan, yaitu kisah Maryam dan Zakaria adalah kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Nabi Muhammad saw, atau keluarganya, dan tidak pula Muhammad pernah membacanya dalam suatu kitab, serta tidak pula diajarkan oleh seorang guru. Itulah wahyu, yang diturunkan Allah kepadanya dengan perantara Rūḥul-Amīn, untuk menjadi bukti atas kebenaran kenabiannya, dan untuk mematahkan ḥujjah (argumentasi) orang yang mengingkarinya.
Kemudian Allah menyatakan pula bahwa Nabi Muhammad, belum ada dan tentu saja tidak menyaksikan mereka ketika mengadakan undian di antara Zakaria dengan mereka, untuk menetapkan siapa yang akan mengasuh Maryam.
Nabi Muhammad saw tidak hadir dalam perselisihan mereka untuk mengasuh Maryam. Mereka terpaksa mengadakan undian untuk menyelesai-kan perselisihan itu. Mereka yang berselisih adalah orang-orang terkemuka yakni para pendeta mereka. Perselisihan itu semata-mata didorong oleh keinginan yang besar untuk mengasuh dan memelihara Maryam. Boleh jadi keinginan ini disebabkan karena bapaknya yaitu Imran adalah pemimpin mereka, sehingga mereka mengharapkan akan mendapatkan berkah dari tugas mengasuh Maryam. Boleh jadi pula disebabkan mereka mengetahui dalam kitab-kitab agama, bahwasanya kelak akan terjadi peristiwa besar bagi Maryam dan putranya. Atau mungkin disebabkan mereka berpendapat bahwa mengasuh bayi perempuan itu adalah suatu kewajiban agama, karena bayi itu dinazarkan untuk mengabdi di Baitulmakdis.
Ayat ini diletakkan sesudah menerangkan kisah Maryam tersebut, adalah untuk menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah membaca cerita keluarga Imran (Bani Israil), karena beliau seorang ummī. Lagi pula beliau tidak pernah mendengar dari seseorang sebab beliau juga hidup waktu itu di tengah-tengah orang yang ummī.
Tidak ada jalan bagi Nabi, untuk mengetahui seluk beluk cerita ini kecuali dengan jalan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, atau dengan jalan wahyu. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri adalah suatu hal yang mustahil, karena peristiwa itu terjadi pada zaman sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw. Kalau demikian tentulah Nabi Muhammad mengetahuinya dengan jalan wahyu.
Para Ahli Kitab yang mengingkari Al-Qur′an mengatakan bahwa isi Al-Qur′an yang sesuai dengan isi Kitab mereka itu adalah berasal dari kitab mereka, sedang yang bertentangan dengan isi kitab mereka itu mereka katakan tidak benar. Isi Al-Qur′an yang tidak terdapat dalam Kitab mereka juga dianggap tidak benar. Sikap demikian itu hanyalah karena sifat sombong dan sifat permusuhan mereka.
Kaum Muslimin meyakini bahwa segala yang diterangkan Al-Qur′an adalah benar. Karena cukup dalil-dalil yang membuktikan bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi. Ayat Al-Qur′an yang bertentangan dengan kitab-kitab terdahulu dipandang sebagai koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang terdapat pada kitab-kitab itu, karena sudah diubah-ubah atau tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan umat.
Āla ‘Imrān (Ālu ‘Imrān) adalah keluarga Imran. Keluarga Imran dalam ayat ini termasuk ayah Maryam, yang punya silsilah panjang sebagai pemuka-pemuka agama. Imran sendiri, ayah Maryam, dikenal sebagai orang besar yang saleh di kalangan pemuka agama Bani Israil. Istrinya bernazar kepada Tuhan bahwa bayi yang dalam kandungannya akan dibiarkan mengabdi kepada Tuhan dengan harapan akan mendapat anak laki-laki. Tetapi yang lahir ternyata anak perempuan Maryam (Āli ‘Imrān/3: 34-36), yang dalam syariat Musa tidak dapat diabdikan untuk pelayan rumah suci. Diduga Imran meninggal ketika putrinya belum lahir, sehingga harus dipelihara oleh orang lain dengan cara diundi, Maryam kemudian dipelihara oleh Zakaria, ayah Yahya Pembaptis. Mereka semua termasuk keluarga Imran. Imran sendiri adalah anak Masan, kakek Nabi Isa dari pihak ibu, tapi tidak kita temukan silsilahnya yang berurutan, selain disebutkan bahwa ujungnya sampai kepada Nabi Sulaiman dan bermuara pada Nabi Ibrahim melalui Yehuda, Yaqub anak Ishak.
Adapun Imran (dalam Bibel Amran) ayah Musa, anak Lewi, juga bermuara pada Nabi Ibrahim melalui Yaqub anak Ishak. Dan “Sebagai keturunan yang satu dengan yang lain....” (Āli ‘Imrān/3:34), maka rasul-rasul Allah sejak Adam sampai Nuh dan Ibrahim, sampai ke rasul terakhir, Muhammad saw, membentuk suatu persaudaraan dari keturunan Israil dan Ismail melalui Ibrahim, masing-masing dari Ishak dan dari Ismail. Jarak waktu antara kedua Imran itu 1800 tahun.
Walaupun kita tidak banyak menemukan data mengenai Maria dan ayahnya dalam Perjanjian Baru, di dalam Al-Qur′an Maryam disebutkan: “… para malaikat berkata: ‘Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu)…” (Āli ‘Imrān/3:42).

