هٰٓاَنْتُمْ هٰٓؤُلَاۤءِ حَاجَجْتُمْ فِيْمَا لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاۤجُّوْنَ فِيْمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Hā antum hā'ulā'i ḥājajtum fīmā lakum bihī ‘ilmun falima tuḥājjūna fīmā laisa lakum bihī ‘ilm(un), wallāhu ya‘lamu wa antum lā ta‘lamūn(a).
Begitulah kamu. Kamu berbantah-bantahan tentang apa yang kamu ketahui,96) tetapi mengapa kamu berbantah-bantahan (juga) tentang apa yang tidak kamu ketahui?97) Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.
Selanjutnya Allah memberi isyarat tentang ketidakbenaran anggapan mereka sekaligus kebodohan mereka tentang Nabi Ibrahim. Begitulah kenyataan yang terjadi di antara kamu! Kamu bukan saja berbantah-bantahan tentang apa yang kamu ketahui, yaitu tentang Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad, tetapi kamu juga berbantah-bantahan tentang apa yang tidak kamu ketahui, yaitu tentang Nabi Ibrahim? Padahal Allah mengetahui sejarah masing-masing, lalu Dia menginformasikan kepada kalian melalui rasul-Nya yang terakhir, Nabi Muhammad, sedang kamu tidak mengetahui melainkan hanya dugaan semata yang tidak memiliki alasan yang kuat.
Memang sewajarnya orang-orang berbantahan tentang urusan Nabi Isa dan sewajarnya pula bila perbantahan mereka itu berdasarkan hal-hal yang mereka ketahui.
Tetapi ternyata di antara yang berbantahan itu ada yang terlibat pada persoalan yang berlebih-lebihan, hingga mengakui bahwa Nabi Isa itu tuhan, bahkan di antaranya ada yang sebaliknya, menuduhnya sebagai pembual dan pendusta. Demikian itu terjadi karena masing-masing pihak tidak mengetahui yang sebenarnya, sehingga masing-masing pihak tak dapat menghindarkan diri dari kesalahan.
Seterusnya Allah mencela orang Yahudi dan orang Nasrani yang berbantahan tentang agama Nabi Ibrahim, karena perbuatan itu tidak didasarkan pada alasan yang benar dan ilmu pengetahuan. Maka bukanlah lebih baik dan masuk akal apabila mereka itu mengikuti saja wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang memang betul-betul datang dari Allah yang mempunyai pengetahuan yang luas tak terbatas. Karena itu Allah menegaskan kepada mereka bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang nyata maupun yang tidak nyata, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.
Hal ini menunjukkan adanya pengertian bahwa mengenai hal-hal yang bersifat gaib, seharusnyalah orang tidak memperdebatkan dan tidak membenarkannya kecuali yang telah diterangkan oleh wahyu. Dengan perkataan lain pengetahuan manusia dibatasi oleh ruang lingkup, waktu dan tempat, sedangkan pengetahuan Allah swt tidak terkait dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
Ahl al-Kitāb اَهْلُ الْكِتَابْ (Āli ‘Imrān/3: 64)
Dalam berbagai kitab tafsir berbahasa Arab kata ahl al-kitāb tidak banyak diuraikan. Pada umumnya diartikan sebagai para pengikut kitab-kitab Taurat dan Injil, (tentunya termasuk juga Zabur), untuk membedakannya dari penyembah-penyembah berhala. Ahli Kitab dapat dipandang sebagai warga żimmi di kawasan wilayah Islam disertai kewajiban jizyah dengan jaminan penuh atas hak-hak mereka menurut ketentuan yang berlaku. Ar-Razi menafsirkan kata “Ahli Kitab” dalam ayat ini, 1) ditujukan kepada kaum Nasrani Najran. 2) ditujukan kepada Yahudi Medinah, dan 3) ditujukan kepada keduanya. Atau “… para pengikut wahyu terdahulu…”. Secara lebih tajam mereka dibedakan dari penyembah-penyembah berhala. “… Dan makanan Ahli Kitab halal untukmu dan makananmu pun halal untuk mereka… juga perempuan-perempuan terhormat di kalangan yang telah menerima Kitab sebelum kamu…” (al-Mā′idah/5:5). Sebutan terhadap kaum Sabi′un yang disejajarkan dengan Yahudi dan Nasrani yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (al-Baqarah/2:62), dalam tafsir Al-Qur′an diperluas sehingga mencakup juga pengikut-pengikut Zoroaster, Veda, Buddha dan Kong Hu Cu sehingga mereka juga dimasukkan sebagai Ahli Kitab. Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa Ahli Kitab yang disebut Al-Qur′an adalah Yahudi dan Nasrani (al-Mā′idah/5: 69).

