وَاِلَى السَّمَاۤءِ كَيْفَ رُفِعَتْۗ
Wa ilas-samā'i kaifa rufi‘at.
Bagaimana langit ditinggikan?
Dan tidakkah pula mereka memperhatikan langit, bagaimana ditinggikan? Allah menjadikan langit sebagai atap bumi yang kukuh meski tanpa penopang. Di sana matahari, bulan, planet, dan berbagai benda langit beredar. Allah menghiasinya dengan bintang yang dapat menjadi petunjuk arah bagi para musafir. Dari langit itu pula turun hujan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan di bumi.
Dalam ayat-ayat ini, Allah mempertanyakan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta, yang ada di depan mata mereka dan dipergunakan setiap waktu, diciptakan. Bagaimana pula langit yang berada di tempat yang tinggi tanpa tiang; bagaimana gunung-gunung dipancangkan dengan kukuh, tidak bergoyang dan dijadikan petunjuk bagi orang yang dalam perjalanan. Di atasnya terdapat danau dan mata air yang dapat dipergunakan untuk keperluan manusia, mengairi tumbuh-tumbuhan, dan memberi minum binatang ternak. Bagaimana pula bumi dihamparkan sebagai tempat tinggal bagi manusia.
Apabila mereka telah memperhatikan semua itu dengan seksama, tentu mereka akan mengakui bahwa penciptanya dapat membangkitkan manusia kembali pada hari Kiamat.
1. Rufi‘at رُفِعَتْ (al-Gāsyiyah/88: 18)
Artinya ditinggikan, diangkat dan lain sebagainya. As-samā’ atau langit diartikan sebagai ruang hampa yang ada di atas bumi kita, dimulai dari mega sampai kawasan yang tidak terhingga. As-samā’ juga difungsikan sebagai atap (saqf) dari bumi. Namun atap di sini tidak sebagai atap yang berbentuk benda padat tapi berupa ruang udara (al-gilāf al-jawwi). Walaupun as-samā’ tingginya dan besarnya tidak terkirakan, tetapi tidak ada tiang yang menyangganya, atau ada tapi tidak terlihat oleh manusia. Manusia diperintahkan untuk merenung tentang kekuasaan Allah yang demikian besar dengan tujuan beriman kepada-Nya.
2. Nuṣibat نُصِبَتْ (al-Gāsyiyah/88: 19)
Kata nuṣibat berarti ditegakkan, kata kerja pasif dari kata naṣaba. Kata ini memiliki akar makna letih. Di dalam Al-Qur’an disebutkan, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (asy-Syarḥ/94: 7). Maksudnya, setelah kamu (Muhammad) selesai mengerjakan ibadah fardu, maka buatlah dirimu letih dengan ibadah-ibadah sunah. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi saw bersabda:
ḍإِنَّمَا فَاطِمَةُ بِضْعَةٌ مِنِّي يُؤْذِينِي مَا آذَاهَا وَيُنْصِبُنِي مَا أَنْصَبَهَا»
Fa ṭimah adalah bagian dariku. Yang membuatnya letih itu juga membuatku letih. (Riwayat at-Tirmiżī, Aḥmad dan Al-Ḥākim)
Selain itu, kata naṣaba juga berarti meletakkan dan meninggikan. Darinya diambil kata nuṣub yang berarti berhala, sebagaimana dalam firman Allah, “Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala” (al-Mā’idah/5: 3). Berhala disebut demikian karena ia diletakkan dan ditinggikan. Makna inilah yang dimaksud pada ayat ini.
3. Suṭiḥat سُطِحَتْ (al-Gāsyiyah/88: 20)
Kata suṭiḥat berarti dihamparkan. Ia adalah kata kerja pasif dari saṭaḥa. Kata ini memiliki akar kata dengan makna ‘membaringkan’. Kalimat saṭaḥan-nāqah berarti ‘ia menderumkan unta’. Darinya diambil kata as-saṭīḥ yang berarti ‘orang yang dilahirkan dalam keadaan lemah, tidak sanggup berdiri dan duduk’. Kata ini hanya disebut satu kali di dalam Al-Qur’an, yaitu di tempat ini, dan yang dimaksud di sini adalah ‘dihamparkan’.

