لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍۙ
Lasta ‘alaihim bimusaiṭir(in).
Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.
Wahai Nabi, engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. Engkau tidak bisa memaksa mereka beriman, demikian juga para dai setelah dirimu, karena sesungguhnya hidayah adalah urusan Allah.
Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa Nabi Muhammad tidak berkuasa menjadikan seseorang beriman. Akan tetapi, Allah-lah yang berkuasa menjadikan manusia beriman. Sementara itu, barang siapa yang berpaling dengan mengingkari kebenaran petunjuk Nabi-Nya, niscaya Allah menghukumnya. Allah berfirman:
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ ٩٩
Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman? (Yūnus/10: 99)
Dan Allah berfirman:
نَحْنُ اَعْلَمُ بِمَا يَقُوْلُوْنَ وَمَآ اَنْتَ عَلَيْهِمْ بِجَبَّارٍۗ فَذَكِّرْ بِالْقُرْاٰنِ مَنْ يَّخَافُ وَعِيْدِ ࣖ ٤٥
Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan engkau (Muhammad) bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka berilah peringatan dengan Al-Qur’an kepada siapa pun yang takut kepada ancaman-Ku. (Qāf/50: 45)
Berkaitan dengan hal itu, para juru dakwah cukup menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an dan hadis Nabi sambil mengajak setiap manusia untuk beriman dan beramal saleh, serta masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhan (kāffah). Penampilan dan metode dakwah perlu dengan cara yang baik dan tidak boleh bersikap memaksa, sebagaimana firman Allah:
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. (al-Baqarah/2: 256)
Dan Allah berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَة ِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِي ْنَ ١٢٥
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (an-Naḥl/16: 125)
Bimuṣaiṭir بِمُصَيْطِر (al-Gāsyiyah/88: 22)
Kata muṣaiṭir artinya orang yang berkuasa, isim fā‘il dari kata ṣaiṭara yang berarti berkuasa. Menurut Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, dan lainnya, maksud dari ayat ini adalah “kamu bukan orang yang sanggup menciptakan iman di hati mereka.” Sedangkan menurut Ibnu Zaid, maksudnya adalah “kamu tidak memaksa mereka untuk beriman”. Ini senada dengan sabda Rasulullah, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan ‘Tiada tuhan selain Allah.’ Bila mereka telah mengatakannya, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali karena haknya, dan perhitungan mereka ada di tangan Allah.”

