v2.9
Geligi Animasi
Geligi Semua Satu Platform
Ayat 3 - Surat Al-Fīl (Gajah)
الفيل
Ayat 3 / 5 •  Surat 105 / 114 •  Halaman 601 •  Quarter Hizb 60.75 •  Juz 30 •  Manzil 7 • Makkiyah

وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ

Wa arsala ‘alaihim ṭairan abābīl(a).

Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong

Makna Surat Al-Fil Ayat 3
Isi Kandungan oleh Tafsir Wajiz

Allah mempunyai cara untuk menggagalkan tipu daya mereka, dan Dia mengirimkan kepada mereka salah satu makhluk-Nya yang dijadikan bala tentara untuk menghancurkan mereka, yaitu burung yang berbondong-bondong dan tidak terhitung banyaknya.

Isi Kandungan oleh Tafsir Tahlili

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Ia telah menggagalkan tipu muslihat mereka yang hendak menghancurkan Ka‘bah.

Allah mengungkapkan cara menggagalkan tipu daya mereka, yaitu dengan mengirimkan pasukan burung yang berbondong-bondong melempari mereka dengan batu-batu yang berasal dari tanah sehingga menjadikan mereka hancur-lebur dan daging mereka beterbangan ke mana-mana. Maka tentara gajah menjadi laksana daun-daun yang dimakan ulat.

Isi Kandungan Kosakata

1. Al-Fīl الْفِيْل (al-Fīl/105: 1)

Ayat pertama ini mengacu pada peristiwa “Pasukan Gajah” yang terjadi tahun 570 Masehi. Kata al-fīl (jamak: fiyalah, fuyūl, dan afyāl) dalam bahasa Arab berarti gajah, binatang berkaki empat, besar, menyusui, berbelalai, bergading, dan bertelinga lebar, hidup bergerombol di hutan yang sudah cukup dikenal. Di beberapa kawasan, gajah digunakan sebagai kendaraan berperang di samping kuda. Tapi di semenanjung Arab binatang ini tidak banyak dikenal.

Dari uraian para mufasir dan sejarawan Arab dapat disimpulkan bahwa ketika itu terjadi pembunuhan besar-besaran orang-orang Nasrani oleh Zu Nuwas, raja Himyar terakhir yang beragama Yahudi (al-Burūj/85: 4-7). Mendengar yang demikian, raja Abisinia setelah dihubungi untuk minta bantuan segera mengirim sebuah pasukan besar dipimpin oleh dua orang pangeran, Aryat (al-Ḥāriṡ) dan Abrahah sebagai wakil raja, dan pasukan ini dapat menaklukkan Yaman. Akan tetapi kemudian, terjadi percekcokan sampai pertarungan antara Aryat dengan Abrahah, yang berakhir dengan terbunuhnya Aryat. Dengan demikian, sekarang Yaman berada di tangan Abrahah sebagai wakil raja dan gubernur di Yaman. Ia membangun sebuah katedral besar Sa’an yang konon dibuat dari barang-barang mewah, pualam dibawa dari peninggalan istana Ratu Saba’ (Sheba), salib-salib dari emas dan perak, serta mimbar dari gading dan kayu hitam. Tujuannya selain untuk mengambil hati raja atas tindakannya itu, sekaligus Abrahah ingin mengubah perhatian masyarakat Arab yang setiap tahun berziarah ke Ka‘bah di Mekah, beralih ke gereja besar Sa’an itu. Karena dengan segala cara harapannya itu tak pernah terwujud, maka tak ada jalan lain Ka‘bah harus dihancurkan. Didorong oleh ambisi dan fanatisme agama, Abrahah mengerahkan dan memimpin sebuah pasukan besar disertai pasukan gajah—yang bagi orang Arab waktu itu asing sekali—menuju Mekah. Mereka hendak menghancurkan Ka‘bah, dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah besar.

Para mufasir beragam sekali mengomentari peristiwa ini, kendati dalam garis besarnya hampir sama. Ringkasnya, setelah Abrahah dan pasukannya memasuki kawasan Hijaz dan sudah mendekat Mekah, Abrahah mengirim pasukan berkuda sebagai kurir. Dalam perjalanan itu, mereka membawa harta suku Quraisy, di antaranya dua ratus ekor unta milik ‘Abdul Muṭallib bin Hāsyim. Melihat besarnya pasukan Abrahah, Quraisy tak akan mampu mengadakan perlawanan. Abrahah mengirim seorang Himyar pengikutnya untuk menemui ‘Abdul Muṭallib, pemimpin Mekah, dengan pesan bahwa mereka datang bukan untuk berperang, melainkan hanya akan menghancurkan Ka‘bah. Pihak Mekah tidak perlu mengadakan perlawanan.

Mendengar mereka tidak bermaksud berperang, konon ‘Abdul Muṭallib pergi ke markas pasukan itu, diantar oleh utusan Abrahah, diikuti oleh anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah yang lain. Melihat sosok ‘Abdul Muṭallib yang tegap besar dan tampan Abrahah turun dari tahtanya menyambut dengan hormat, dan duduk bersama-sama dengan tamunya itu. Menjawab pertanyaan Abrahah melalui penerjemahnya apa yang diperlukan ‘Abdul Muṭallib dengan kedatangannya itu, konon dijawab bahwa dia mau meminta dua ratus ekor yang dirampas pasukannya dikembalikan. Abrahah mengatakan ia hormat dan kagum kepada ‘Abdul Muṭallib ketika melihatnya, tetapi tidak demikian setelah diketahui kedatangannya hanya membicarakan dua ratus ekor unta miliknya yang dirampas anak buahnya, bukan rumah suci yang mendasari agamanya dan agama nenek moyangnya. Kedatangannya akan menghancurkan Ka‘bah tidak disinggung sama sekali. Akan tetapi, ‘Abdul Muṭallib menjawab bahwa ia pemilik unta, bukan pemilik Ka‘bah. Rumah suci itu milik Allah, dan Dia yang akan melindunginya. Abrahah berjanji akan mengembalikan unta ‘Abdul Muṭallib. Konon ‘Abdul Muṭallib dan beberapa pemuka Mekah kemudian menawarkan sepertiga kekayaan Tihamah untuk Abrahah asal tidak mengganggu Ka‘bah. Tetapi tawaran itu ditolak. ‘Abdul Muṭallib kembali ke Mekah setelah dua ratus untanya dikembalikan. ‘Abdul Muṭallib dan para pemuka Mekah yang lain tidak perlu mengadakan perlawanan, mereka percaya bahwa Ka‘bah sudah ada yang menjaganya.

Sesudah kembali ke Mekah, ‘Abdul Muṭallib memerintahkan Bani Quraisy keluar dari kota Mekah agar tidak menjadi korban pasukan Abrahah. Sesudah itu mereka berdoa, memohon perlindungan kota Mekah, barangkali mereka memohonkan bantuan berhala-berhala.

Setelah seluruh kota Mekah sunyi, Abrahah mengerahkan pasukannya dan sudah siap menghancurkan Ka‘bah. Dalam perhitungannya setelah itu ia akan kembali ke Yaman. Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba pasukannya merasa dihujani batu yang dibawa oleh kawanan burung besar. Burung itu tampaknya menyebarkan kuman-kuman wabah yang sangat mematikan berupa bisul dan letupan-letupan kulit, yang diduga sejenis campak ganas. Mereka belum tahu dan belum pernah mengalami kejadian serupa itu. Barangkali wabah itu dibawa angin dari jurusan laut. Tidak sedikit pasukan Abrahah yang binasa, dan Abrahah sendiri mati dalam perjalanan pulang ke Yaman. Versi lain mengatakan bahwa Abrahah yang sudah dalam ketakutan, melihat bencana wabah makin hari makin mengganas dan banyak anggota pasukannya yang mati, cepat-cepat ia pulang kembali dan sampai ke Ṣan‘a. Tetapi ternyata badannya sendiri pun sudah digerogoti penyakit mematikan itu. Tidak berselang lama kemudian ia pun mati seperti anggota pasukannya yang lain.

Peristiwa ini terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad, atau tak lebih dari dua bulan sebelum itu. Tahun itu oleh orang Mekah dicatat sebagai “Tahun Gajah,” dan diabadikan tonggak perhitungan sebelum Hijrah.

2. Abābīl اَبَابِيْل (al-Fīl/105: 3)

Abābīl dalam bahasa Arab berarti ‘kelompok atau kawanan yang terpencar-pencar,” yakni kawanan yang banyak. Dalam ayat ini, artinya kawanan burung yang beterbangan yang terpencar-pencar kian kemari. Kata ini tak punya bentuk kata tunggal dan tersirat arti kata memperbanyak.

Suatu mukjizat diperlihatkan dalam ayat pendek ini. Dengan datangnya kawanan besar burung yang di luar dugaan, datang beterbangan dan melemparkan batu-batu yang membawa wabah menimpa pasukan Abrahah. Anggota-anggota pasukannya berlarian menyelamatkan diri setelah banyak yang mati di antara mereka. Abrahah sendiri juga terkena wabah itu dan mati.