قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
Qālū subḥānaka lā ‘ilma lanā illā mā ‘allamtanā, innaka antal-‘alīmul-ḥakīm(u).
Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Mereka, para malaikat, tidak sanggup menyebutkan nama benda-benda tersebut dan menjawab, “Mahasuci Engkau dari segala kekurangan, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana". Jawaban malaikat ini adalah jawaban yang penuh santun. Pertama, malaikat mengemukakan ketidakmampuan mereka untuk menyebutkan nama-nama benda itu dengan ungkapan yang menunjukkan kemahasucian Allah. Kedua, malaikat merasa bahwa pengetahuan mereka sangatlah sedikit. Pengetahuan mereka adalah pemberian dari Allah semata. Ketiga, malaikat memuji Allah dengan dua sifat yaitu Yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan Mahabijaksana dalam semua kebijakan dan seluruh pekerjaan-Nya, termasuk pemilihan Nabi Adam, manusia, sebagai khalifah.
Setelah para malaikat menyadari kurangnya ilmu pengetahuan mereka, karena tidak dapat menyebutkan sifat makhluk-makhluk yang ada di hadapan mereka, maka mereka mengakui terus terang kelemahan diri mereka dan berkata kepada Allah bahwa Dia Mahasuci dari segala sifat-sifat kekurangan, yang tidak layak bagi-Nya, dan mereka menyatakan tobat kepada-Nya. Mereka pun yakin bahwa segala apa yang dilakukan Allah tentulah berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya yang Mahatinggi dan Mahasempurna, termasuk masalah pengangkatan Adam menjadi khalifah. Mereka mengetahui bahwa ilmu pengetahuan mereka hanyalah terbatas kepada apa yang diajarkan-Nya kepada mereka. Dengan demikian lenyaplah keragu-raguan mereka tentang hikmah Allah dalam pengangkatan Adam menjadi khalifah di bumi.
Dari pengakuan para malaikat ini, dapatlah dipahami bahwa pertanyaan yang mereka ajukan semula “mengapa Allah mengangkat Adam a.s. sebagai khalifah,” bukanlah merupakan suatu sanggahan dari mereka terhadap kehendak Allah, melainkan hanyalah sekadar pertanyaan meminta penjelasan. Setelah penjelasan itu diberikan, mereka mengakui kelemahan mereka, maka dengan rendah hati dan penuh ketaatan mereka mematuhi kehendak Allah, terutama dalam pengangkatan Adam a.s., menjadi khalifah. Mereka memuji Allah swt, karena Dia telah memberikan ilmu pengetahuan kepada mereka sesuai dengan kemampuan yang ada pada mereka. Selanjutnya, mereka mengakui pula dengan penuh keyakinan, dan menyerah kepada ilmu Allah yang Mahaluas dan hikmah-Nya yang Mahatinggi. Lalu mereka menegaskan bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.
Hal ini mengandung suatu pelajaran bahwa manusia yang telah dikaruniai ilmu pengetahuan yang lebih banyak dari yang diberikan kepada para malaikat dan makhluk-makhluk lainnya, hendaklah selalu mensyukuri nikmat tersebut, serta tidak menjadi sombong dan angkuh karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya, serta kekuatan dan daya pikirannya. Sebab, betapapun tingginya ilmu pengetahuan dan teknologi manusia pada zaman kita sekarang ini, namun masih banyak rahasia-rahasia alam ciptaan Allah yang belum dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan manusia, misalnya ialah hakikat roh yang ada pada diri manusia sendiri. Allah telah memperingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang dikaruniakan kepada manusia hanya sedikit sekali dibandingkan ilmu Allah dan hakikat-Nya.
وَيَسْـ َٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا ٨٥ (الاسراۤء)
“…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit.” (a1-Isrā’/17: 85)
Selama manusia tetap menyadari kekurangan ilmu pengetahuannya, tentu dia tidak akan menjadi sombong dan angkuh, dan niscaya dia tidak akan segan mengakui kekurangan pengetahuannya tentang sesuatu apabila dia benar-benar belum mengetahuinya, dan dia tidak akan merasa malu mempelajarinya kepada yang mengetahui. Sebaliknya, apabila dia mempunyai pengetahuan tentang sesuatu yang berfaedah, maka ilmunya itu tidak akan disembunyikannya, melainkan diajarkan dan dikembangkannya kepada orang lain, agar mereka pun dapat mengambil manfaatnya.
Khalīfah خَلِيْفَةً (al-Baqarah/2: 30)
Kata khalīfah berakar dari kata khalafa yang berarti mengganti. Kata khalīfah secara harfiah berarti pengganti. Akar katanya adalah خلف artinya sesuatu yang ada di belakang. Khalifah diartikan pengganti, karena ia menggantikan yang di depannya. Di dalam bahasa Arab, kalimat “Allah menjadi khalīfah bagimu” berarti Allah menjadi pengganti bagimu dari orang tuamu yang meninggal. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi berarti Allah menyerahkan pengelolaan dan pemakmuran bumi—bukan secara mutlak—kepada manusia. Kedudukan manusia sebagai khalifah dengan arti ini dinyatakan Allah di dalam surah al-Baqarah/2:30 di mana Allah menjadikan Bani Adam sebagai khalifah di bumi. Di samping arti ini, kata khalifah juga menunjuk arti pemimpin negara atau kaum. Kata khalīfah dengan arti pemimpin terdapat antara lain di dalam surah ṣād/38:26 di mana Allah mengangkat Nabi Daud a.s. sebagai khalifah di bumi (Palestina) untuk memimpin umat manusia dengan adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Khalifah pada ayat pertama bertugas mengelola dan memakmurkan bumi, sedangkan khalifah pada ayat kedua bertugas menegakkan hukum Allah di bumi dan menciptakan kemaslahatan bagi manusia.

