وَكَذٰلِكَ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَۗ فَالَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖۚ وَمِنْ هٰٓؤُلَاۤءِ مَنْ يُّؤْمِنُ بِهٖۗ وَمَا يَجْحَدُ بِاٰيٰتِنَآ اِلَّا الْكٰفِرُوْنَ
Wa każālika anzalnā ilaikal-kitāb(a), fal-lażīna ātaināhumul-kitāba yu'minūna bih(ī), wa min hā'ulā'i may yu'minu bih(ī), wa mā yajḥadu bi'āyātinā illal-kāfirūn(a).
Demikianlah Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Adapun orang-orang yang telah Kami berikan Kitab (Taurat dan Injil), mereka beriman kepadanya (Al-Qur’an). Di antara mereka (orang-orang kafir Makkah), ada (pula) yang beriman kepadanya. Tidaklah mengingkari ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang kafir.
Dan sebagaimana Kami telah menurunkan kitab-kitab kepada para rasul sebelum engkau, demikianlah Kami juga turunkan Kitab Al-Qur’an kepadamu. Oleh karena itu, orang-orang yang telah Kami berikan Kitab, yakni Taurat dan Injil, dan tidak menutupi kebenaran isinya, terutama informasi tentang Nabi Muhammad, tentu mereka beriman kepadanya, yakni Al-Qur’an. Dan di antara mereka, yakni orang-orang kafir Mekah, ada juga orang yang beriman kepadanya, Al-Qur’an. Dan hanya orang-orang kafir yang mengingkari ayat-ayat Kami dan terus-menerus dalam kekafirannya.
Pada ayat ini, Allah menerangkan kepada Nabi Muhammad bahwa sebagaimana Ia telah menurunkan kitab kepada para rasul yang diutus sebelumnya, demikian pula Ia menurunkan Al-Qur’an kepadanya. Dalam kitab-kitab itu telah diisyaratkan kedatangan Nabi Muhammad di kemudian hari. Hal ini kemudian benar-benar menjadi kenyataan dengan pengutusan Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir. Para rasul Allah diperingatkan agar menyampaikan kepada umatnya untuk beriman dan mengikuti para rasul yang datang kemudian. Sebab, jika seseorang beriman kepada salah seorang dari para rasul yang diutus Allah, maka ia wajib pula beriman kepada para rasul Allah yang lain, baik yang datang lebih dahulu, maupun yang kemudian.
Oleh karena itu, sebagian dari Ahli Kitab yang ada pada masa Nabi Muhammad beriman kepadanya dan kepada Al-Qur’an, sesuai dengan perintah para nabi mereka. Mereka itu lebih mementingkan akhirat daripada dunia yang fana ini, dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Di antara mereka yang bersikap demikian adalah Abdullah bin Salam, Tamīm al-Anṣari, dan lain-lain.
Adapun orang-orang yang di hatinya ada penyakit, seperti iri hati karena rasul yang ditunggu kedatangannya itu bukan dari golongan mereka, atau tertipu oleh kesenangan dunia karena memperturutkan hawa nafsu, mereka akan mengingkari Al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang menyatakan kerasulan Muhammad. Seharusnya orang-orang Ahli Kitab memperhatikan seruan dan petunjuk para rasul mereka untuk menyembah kepada Allah, dan mempercayai bahwa Muhammad adalah rasul dan nabi terakhir. Tidak ada seorang nabi atau rasul pun yang diutus Allah sesudahnya.
Walā Takhuṭṭuhu وَلاَ تَخُطُّهُ (al-’Ankabūt/29: 48)
Kata walā takhuṭṭuhu yang bersambung dengan kata biyamīnik, dalam Al-Qur’an, hanya disebut dalam ayat ini. Perkataan ini berarti “dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu”. Penegasan ini dikemukakan Allah untuk menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sebelum Al-Qur’an diturunkan kepadanya belum pernah membaca sebuah kitab pun dan juga tidak pernah menulisnya. Ia seorang nabi yang ummī, tidak pandai baca tulis. Menurut pendapat Ibnu ‘Abbās, aḍ-Ḍahhak, dan Ibnu Juraij, Nabi Muhammad benar-benar seorang nabi yang tidak bisa menulis dan membaca. Seandainya Nabi Muhammad pernah tekun membaca kitab sekaligus menulisnya dengan tangan kanannya, niscaya Al-Qur’an yang disampaikan kepada manusia akan diragukan, terutama oleh kalangan kaum Yahudi. Mereka berdalih bahwa Al-Qur’an itu pasti karya dan tulisan Muhammad. Kata walā takhuṭṭuhu biyamīnik dan juga ungkapan lātatlu min kitāb sebelumnya di awal ayat, difirmankan Allah untuk membantah hal tersebut.

