وَاِذْ قَالَتْ طَّاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ يٰٓاَهْلَ يَثْرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمْ فَارْجِعُوْا ۚوَيَسْتَأْذِنُ فَرِيْقٌ مِّنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُوْلُوْنَ اِنَّ بُيُوْتَنَا عَوْرَةٌ ۗوَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ ۗاِنْ يُّرِيْدُوْنَ اِلَّا فِرَارًا
Wa iż qālat ṭā'ifatum minhum yā ahla yaṡriba lā muqāma lakum farji‘ū, wa yasta'żinu farīqum minhumun-nabiyya yaqūlūna inna buyūtanā ‘aurah(tun), wa mā hiya bi‘aurah(tin), iy yurīdūna illā firārā(n).
(Ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, “Wahai penduduk Yasrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu. Maka, kembalilah kamu!” Sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).” Padahal, rumah-rumah itu tidak terbuka. Mereka hanya ingin lari (dari peperangan).
Demikianlah perkataan kaum munafik. Dan ingatlah juga ketika segolongan di antara mereka berkata dengan penuh hasutan, “Wahai penduduk Yasrib! Tidak ada tempat bagimu untuk menyelamatkan diri jika kamu tetap bersama Muhammad dan tentaranya, maka kembalilah kamu ke rumah.” Dan lihatlah bahwa akibat dari upaya hasutan itu sebagian dari mereka, yakni pasukan mukmin, terpengaruh sehingga meminta izin pulang kepada Nabi dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka tanpa penjaga,” padahal rumah-rumah itu tidak terbuka; mereka hanyalah membuat-buat alasan karena ketakutam sehingga hendak lari dari peperangan itu.
Di antara mereka, seperti ‘Abdullāh bin Ubay dan kawan-kawannya, ada pula yang mengatakan, “Hai penduduk kota Medinah, tempat ini bukanlah tempat yang harus kita tempati, maka kembalilah ke rumahmu masing-masing, agar kamu tidak ditimpa malapetaka dan kesengsaraan serta tidak mati terbunuh oleh musuh-musuh yang sedang mengepung kita.”
Sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkan, “Hai penduduk Medinah, tidak ada tempat bagi kamu sekalian untuk tetap menganut agama Muhammad. Kembalilah kamu kepada agamamu dahulu, dan serahkanlah Muhammad dan pengikut-pengikutnya kepada musuh-musuhnya yang sedang mengepung itu, sehingga keselamatan kamu semua terjamin.”
Karena perkataan dan ajakan pemimpin-pemimpin munafik dan Yahudi itu, maka sebagian dari mereka ada yang terpengaruh dan meminta kepada Nabi saw agar dapat meninggalkan medan perang dan kembali ke rumah mereka. Di antara yang meminta itu ialah Bani Ḥāriṡah. Alasan yang mereka kemukakan ialah rumah-rumah mereka berada di tempat yang berdekatan dengan pangkalan-pangkalan pasukan musuh sedang dindingnya tidak kuat, mereka khawatir musuh akan mengambil harta benda mereka.
Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa semua alasan yang dikemukakan oleh orang-orang munafik dan Yahudi adalah alasan-alasan yang dibuat-buat saja. Alasan-alasan itu mereka kemukakan semata-mata untuk menghindarkan diri dari ikut berperang beserta Nabi dan kaum Muslimin, karena mereka tidak melihat suatu keuntungan yang akan mereka peroleh.
1. Ahla Yaṡrib اَهْلَ يَثْرِبَ (al-Aḥzāb/33: 13)
Ayat ini dan yang lengkapnya dari ayat 9-27 Surah al-Aḥzāb/33, berhubungan dengan peristiwa Perang Parit (Khandaq) yang terjadi di Yasrib (Medinah), dan seruan dalam ayat itu ditujukan kepada penduduk kota itu. Pada umumnya, kota ini dihuni oleh tiga kelompok besar—Yahudi, Aus, dan Khazraj. Mereka merupakan pendatang dari luar Yasrib; kelompok Yahudi diduga dari Palestina, Khazraj dan Aus dari kota Saba’ di Yaman. Di Saba’ ini ada sebuah bendungan raksasa yang dikenal sebagai Bendungan Ma’rib yang dapat mengairi daerah ini dan membuat Saba’ subur dan makmur, seperti dilukiskan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, mereka kemudian meninggalkannya setelah bendungan itu pecah dan kota itu terbenam air, dan kawasan itu berubah sama sekali sehingga tidak dihuni. Sebagian penduduknya, yaitu Aus dan Khazraj, bermigrasi ke Yasrib. (Lebih jauh lihat kosakata “Saba’’” pada Surah Saba’/34: 15 dalam tafsir ini jilid VIII).
Ketika mereka sampai di Yasrib, di sana sudah ada masyarakat Yahudi, di samping masyarakat Arab penduduk asli yang tersebar di sana sini sampai ke luar kota. Akan tetapi, hampir dalam segala hal posisi mereka tampaknya berada di bawah orang-orang Yahudi. Secara singkat dapat disebutkan bahwa di Yasrib ketika itu ada tiga kabilah Yahudi yang cukup menonjol, yakni Quraiẓah di Fadak, an-Naḍīr tidak jauh dari sana, dan Qainuqa’ di bagian dalam. Di bagian utara ada Yahudi Khaibar. Quraiẓah dan an-Naḍīr memiliki tanah pertanian dan perkebunan yang luas dan subur, terletak di ketinggian oasis di selatan yang banyak ditanami pohon kurma. Sebaliknya Qainuqa’ tidak memiliki tanah pertanian. Kebanyakan mereka perajin dan pedagang emas dan mereka ini yang menguasai pasar. Yahudi Khaibar juga memiliki tanah pertanian yang luas dan subur.
Rasulullah, sesampainya di Medinah setelah hijrah dari Mekah, pertama-pertama membuat sebuah piagam yang sangat cemerlang berupa perjanjian tertulis dengan penduduk Yasrib dan suku-suku Yahudi. Perjanjian itu dalam garis besarnya berisi pengakuan atas agama orang Yahudi serta adat istiadat dan harta benda mereka dengan syarat-syarat timbal balik. Harus sama-sama saling membantu, menghormati, dan berbuat kebaikan, serta menjauhi segala perbuatan dosa. Mereka satu umat dengan orang beriman, sehingga hendaklah mereka tolong-menolong.
Akan tetapi, pakta perjanjian itu dilanggar oleh Yahudi ketika musyrik Quraisy dari Mekah datang menyerang Nabi dan kaum Muslimin di Medinah hingga terjadi Perang Badar. Pihak Yahudi ternyata lebih bersimpati kepada kaum musyrik. Lebih-lebih dalam Perang Parit (Khandaq) suku Yahudi menjadi musuh dalam selimut sebagai mata-mata kaum musyrik Quraisy Mekah. Setelah pihak musuh mengalami kekalahan, banyak Yahudi yang terpaksa diusir. Selain itu ada beberapa peristiwa pribadi seperti pelecehan oleh orang-orang Yahudi terhadap perempuan Muslimah, sehingga perempuan itu berteriak meminta tolong. Maka timbullah keonaran sampai terjadi pembunuhan. Akibat semua itu, persahabatan telah berubah menjadi permusuhan terbuka. Peringatan Allah dalam Al-Qur’an kepada kaum Muslimin memang tepat sekali:
يٰٓاَيُّه ا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِّنْ دُوْنِكُمْ لَا يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالًاۗ وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْۚ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاۤءُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۖ وَمَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ اَكْبَرُ ۗ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْاٰيٰتِ اِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ ١١٨ (اٰل عمران)
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti. (Āli ‘Imrān/3: 118)
Ayat ini ditujukan kepada Nabi dan kaum Muslimin agar jangan mengambil orang di luar lingkunganmu menjadi teman kepercayaanmu. Jangan mencurahkan isi hati dan pikiranmu yang bersifat rahasia kepada mereka, terutama hal-hal yang seharusnya dirahasiakan, karena mereka memang tak dapat dipercaya. Yang dimaksud biṭānah (teman kepercayaan) dalam ayat ini ialah orang-orang Yahudi, yang sering mengkhianati perjanjian dengan Nabi. Karena bawaan akhlaknya, Nabi, begitu juga para sahabat, sangat baik hati dan tanpa curiga kepada mereka, apalagi sudah ada perjanjian persahabatan dengan mereka. Sampai pada waktu sesudah Perang Uhud dan Medinah dikosongkan dari Bani an-Naḍīr, yang menjadi sekretaris Nabi orang Yahudi. Nabi ingin memudahkan pengiriman surat-surat dalam bahasa orang Yahudi dan Suryani (Aram), sebelum kemudian digantikan oleh Zaid bin Ṡabit.
Dari mana orang-orang Yahudi itu datang, adakah mereka memang dari keturunan Ibrani? Sejak kapan pula mereka berada di Yasrib? Ataukah mereka keturunan orang-orang pelarian dari Palestina? Bagaimana pula jalinan hubungan mereka dengan penduduk Arab di sana? Catatan sejarah masih sering berbeda-beda. Memang tidak mudah dilacak, dan kadang membingungkan. Hal ini juga diakui oleh penulis-penulis Arab sendiri dan oleh kalangan Orientalis.
Buku yang dapat dikatakan lebih otentik berbicara tentang sejarah Medinah ialah yang ditulis oleh Nuruddin as-Samhudi (abad ke-9 H./15 M.), Al-Wafā’ bi Akhbār Dār al-Musṭafā, yang juga banyak disinggung oleh Montgomery Watt dan kalangan Orientalis lain. Sungguhpun begitu, belum ada kesamaan pendapat di antara mereka. Secara acak dapat disebutkan, bahwa di antara suku-suku Yahudi itu, dalam adat istiadat banyak kesamaannya dengan adat tetangga-tetangga mereka orang Arab pagan, sampai pun kepada nama dan kabilah atau suku-suku mereka. Pengaruh ini timbul mungkin juga karena pergaulan dan melalui hubungan perkawinan antara mereka. Mungkin juga sebagian penduduk asli setempat itu sudah menganut agama Yahudi.
Migrasi Yahudi dari Yerusalem ke Hijaz
Pada tahun 70 Pra Masehi, Titus Flavius Vespasianus menyerang dan menduduki Yerusalem. Kota itu diporak-porandakan. Orang Israil (Yahudi) banyak yang dianiaya dan disiksa, Kanisah Yerusalem, rumah ibadah yang besar dan megah, dengan segala isinya yang terbuat dari emas dan perak, warisan dari nenek moyang mereka, Raja Sulaiman bin Daud, yang tiada tara, yang telah menjadi kebanggaan selama itu dan dikagumi bangsa-bangsa—oleh pasukan Roma dihancurkan begitu saja.
Dari beberapa sumber dapat dilihat bahwa orang-orang Israil itu sudah tidak tahan untuk tetap tinggal di Palestina. Jika ingin selamat, mereka harus menyingkir dari negeri itu. Akan tetapi, mereka akan pergi ke mana? Ke Mesir yang berbatasan dengan asal tempat tinggal mereka, atau ke Suria dan Irak tempat mereka pertama dulu pindah? Atau ke tempat lain yang membentang begitu luas. Masih banyak pilihan. Tetapi mereka justru menuju ke arah Hijaz yang lebih jauh dan tandus. Mereka membaca dalam kitab-kitab suci mereka, dalam kitab-kitab para nabi, terutama Yesaya 42 yang mengisyaratkan bahwa akan muncul seorang nabi dari saudara-saudara mereka sendiri, dari keturunan Ismail anak Ibrahim, dengan beberapa isyarat dan tanda-tanda yang jelas. Nabi itu akan muncul di kota Yasrib di bilangan Hijaz itu, dan dari kota itu akan berkembang. Setelah apa yang mereka alami dari pihak Roma itu, kini mereka sungguh-sungguh berharap kiranya akan datang pertolongan dari Tuhan. Inilah yang akan mengembalikan kejayaan mereka masa lalu. Maka berdatanganlah mereka ke tempat itu sambil menunggu kedatangan seorang nabi.
Sebelum itu, sejak akhir abad ke-6 Pra Masehi di masa Nebukadnezar, orang-orang Israil diusir dari negeri yang mereka tempati, dibuang ke Babil, sebagian mereka dijadikan budak belian, dan yang lain berpindah-pindah kian ke mari, yang dikenal dengan zaman diaspora. Dua abad kemudian, atas perintah raja Ahasyweros hampir saja mereka habis dibantai—tua, muda, laki-laki, perempuan dan anak-anak, seperti yang diceritakan dalam Perjanjian Lama.
Sudah disebutkan di atas bahwa setelah Titus memorak-porandakan Yerusalem, orang Israil banyak yang bermigrasi ke Hijaz. Mereka menempati daerah-daerah tertentu, yang menurut perkiraan mereka sangat menjanjikan, seperti Taima’, Wadi al-Qura, Fadak, Khaibar, dan Yasrib. Mereka dikenal sebagai suku-suku Bani Qainuqa’, Bani an-Naḍīr, dan Bani Quraiẓah, dan mereka menetap di sana, yang mereka rasakan lambat laun seperti negeri mereka sendiri. Mereka membentuk perkampungan-perkampungan dan mendirikan bangunan-bangunan dan benteng-benteng pertahanan yang kuat, membuka usaha dagang, dan mengolah tanah untuk pertanian dan perkebunan, sehingga daerah-daerah itu tampak lebih ramai.
Tetapi apa yang terjadi sekitar enam abad kemudian setelah nabi yang ditunggu-tunggu itu datang? Justru tantangan datang dari orang-orang Yahudi, bahkan mereka bersekutu dengan musyrik Mekah untuk meng-hancurkan Nabi dan umatnya. Demikianlah sejarah umat Yahudi di Yasrib (Medinah).
Dalam perkembangan selanjutnya, yang tampak menonjol di Yasrib ialah tiga kelompok besar: Yahudi dengan berbagai macam kabilahnya, Qailah, yakni dua kabilah Arab, Khazraj, dan Aus, yang kemudian berkembang dan bercabang-cabang menjadi beberapa “anak kabilah” yang menonjol. Di tempat yang baru ini, masyarakat Yahudi yang hidup berkebun atau bertani, dan berdagang, hidup senang karena tanah Yasrib memang subur. Di samping mereka itu masih banyak kabilah lain besar dan kecil, ada yang berdiri sendiri atau dalam lingkungan kabilah yang lebih besar, seperti Bani an-Najjar dalam Khazraj. Seperti disimpulkan oleh Haekal bahwa Yasrib punya arti penting bagi Nabi Muhammad yang bukan hubungan dagang, melainkan suatu hubungan batin yang dekat sekali. Tak jauh dari tempat itu ada sebuah kuburan, yakni kuburan Abdullah bin Abdul Mutollib, suami Aminah dan ayahanda Muhammad. Sekali setahun Aminah berziarah ke tempat itu. Selain dengan Aminah, Bani Najjar juga masih keluarga Abdul Mutallib dari pihak ibu. Aminah sebagai istri yang setia berziarah ke makam ini. Ketika berusia enam tahun, Muhammad juga pernah ke Yasrib bersama ibunya. Dalam perjalanan pulang ke Mekah, ketika sampai di pertengahan jalan, yaitu di Abwa’—sekitar 37 km dari Yasrib—Aminah jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dan dikuburkan di tempat itu juga.
Ke kota Yasrib inilah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya kemudian hijrah. Sejak itu nama Yasrib menjadi Medinah ar-Rasul, atau al-Madinah al-Munawwarah, dan dari kota ini pula Islam bersinar ke seluruh dunia.
2. ‘Aurah عَوْرَة (al-Aḥzāb/33:13)
‘Aura h berarti malu, aib, dan buruk. Kata ‘aurah ada yang mengatakan berasal dari kata ‘awira artinya hilang perasaan, kalau dipakai untuk mata, maka mata itu hilang cahayanya dan lenyap pandangannya. Pada umumnya kata ini memberi arti yang tidak baik dipandang, memalukan dan menge-cewakan. Ada juga yang mengatakan bahwa kata ‘aurah berasal dari kata ‘āra artinya menutup dan menimbun seperti menutup mata air dan menimbunnya. Ini berarti pula bahwa aurat itu adalah sesuatu yang ditutup sehingga tidak dapat dilihat dan dipandang. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘aurah berasal dari kata a’wara yakni sesuatu yang jika dilihat akan mencemarkan atau menimbulkan aib/malu. Dengan demikian, makna ‘aurah adalah suatu anggota yang harus ditutup dan dijaga hingga tidak menimbulkan kekecewaan dan malu.

