اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Ud‘ūhum li'ābā'ihim huwa aqsaṭu ‘indallāh(i), fa illam ta‘lamū ābā'ahum fa ikhwānukum fid-dīni wa mawālīkum, wa laisa ‘alaikum junāḥun fīmā akhṭa'tum bihī wa lākim mā ta‘ammadat qulūbukum, wa kānallāhu gafūrar raḥīmā(n).
Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.607) Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Allah tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandung. Karena itu, panggillah mereka dengan dinisbatkan kepada nama bapak kandung mereka sendiri, bukan bapak angkatnya. Panggilan demikian itulah yang secara syariat dinilai adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak kandung mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu menisbatkan seorang anak kepada selain bapaknya jika kamu khilaf atau belum tahu hukum tentang hal itu, tetapi yang menimbulkan dosa adalah apa yang disengaja oleh hatimu dengan menetapkan sesuatu yang batil. Allah Maha Pengampun kepada siapa saja yang memohon ampunan-Nya, Maha Penyayang sehingga tidak serta-merta mengazab hamba-Nya yang bersalah.
Ayat ini menerangkan bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin menasabkan seorang anak hanya kepada bapak dan ibunya, karena anak itu berasal dari tulang sulbi bapaknya, kemudian dikandung dan dilahirkan oleh ibunya. Menasabkan anak kepada orang tuanya adalah hukum Allah yang wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslimin. Sebaliknya menasabkan anak kepada orang lain yang bukan orang tuanya bukanlah hukum Allah, tetapi adalah hukum yang dibuat-buat oleh manusia sendiri, sehingga hukumnya haram.
Pendapat ini disepakati oleh kebanyakan ulama yang mengatakan, “Mengangkat anak sehingga kedudukan anak angkat itu sama hukumnya dengan kedudukan anak kandung, seperti berhak mewarisi, menjadikan hubungan mahram, dan sebagainya termasuk dosa besar berdasarkan hadis:
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِيْ وَقَّاصٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنِ ادَّعَى اِلَى غَيْرِ اَبِيْهِ اَوِانْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيْهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللّٰهِ وَالْمَلَائِكَ ةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ لَايَقْبَلُ اللّٰهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَاعَدْلًا. (رواه الشيخان)
Diriwayatka n dari Sa’ad bin Abī Waqqāṣ r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang menasabkan dirinya kepada selain bapaknya atau menasabkan budak kepada selain tuannya, maka ia berhak mendapatkan laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya, Allah Ta’āla tidak menerima pemalingan dosa tebusan padanya. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim)
Hadis Nabi saw, beliau bersabda:
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ اِدَّعَى لِغَيْرِ اَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ اِلاَّ كَفَرَ (رواه البخارى ومسلم عن ابى ذر)
Tidak ada seorang pun yang menasabkan kepada selain bapaknya, sedang ia mengetahui, melainkan dia telah kafir. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Żarr)
Pada lafal yang lain, juga diriwayatkan al-Bukhārī dan Muslim, Rasulullah saw bersabda:
مَنِ ادَّعَى إِلىَ غَيْرِ اَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ اَنَّهُ غَيْرُ اَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ. (رواه البخاري ومسلم عن سعد بن أبي وقاص وأبى بكرة)
Barang siapa yang menasabkan dirinya kepada selain bapaknya, sedang ia mengetahui bahwa laki-laki itu bukan bapaknya, maka haram atasnya surga. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Sa’ad bin Abu Waqqāṣ dan Abū Bakrah)
Al-Alūsi dalam Tafsir Rūḥ al-Ma’āni membedakan antara pengakuan dan pengasuhan anak. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang anak dan menasabkan anak itu kepadanya sehingga sama hukumnya dengan anak sendiri (kandung), mempunyai hak waris, menjadi mahram dan kerabat, hukumnya adalah haram. Adapun jika seseorang mengambil anak dan memperlakukannya seperti anak sendiri, tetapi tidak menasabkan anak itu kepadanya dan tidak menyatakan sama kedudukannya dalam hukum dengan anak sendiri, maka Allah tidak mengharamkannya.
Ayat ini menerangkan bahwa jika seorang anak tidak diketahui ayahnya, dan ia dipelihara oleh seorang muslim yang lain, maka hubungan pemeliharaan dengan anak itu adalah hubungan saudara seagama atau hubungan tuan dengan maulanya (hamba yang telah dimerdekakan). Oleh karena itu, dia harus memanggil anak itu dengan sebutan “saudara” atau “maula”. Orang lain pun diharapkan untuk menyebutnya demikian, umpamanya “Salim maula Huzaifah”, karena Salim ini sebelum datangnya agama Islam adalah budak Huzaifah yang tidak dikenal bapaknya.
Allah lalu menutup ayat ini dengan menyatakan bahwa semua perbuatan dosa seperti menasabkan seorang anak kepada yang bukan ayahnya yang dilakukan sebelum ayat ini turun, asalkan dihentikan setelah turunnya, akan diampuni Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Ad’iyāakum أَدْعِيَاءَكُم ْ (al-Aḥzāb/33: 4)
Ad’iyāakum artinya anak angkat dalam bentuk jamak dari kata da’iyy yang terambil dari kata ad’ā atau idda’ā yakni mengaku keturunan. Maksud kata ad’iyā’ dalam ayat ini adalah anak-anak yang diakui sebagai anak sendiri yang disebut dengan anak angkat. Biasanya kata ini menunjuk pengakuan tersebut disertai dengan kesadaran dan pengakuan yang mengakuinya bahwa sang anak sebenarnya bukan anaknya, hanya dia yang mengangkatnya sebagai anak dan memberinya hak-hak sebagaimana lazimnya seorang anak kandung. Masyarakat Jahiliah mengenal luas anak angkat (adopsi) dan anak yang diadopsi itu diperlakukan sama persis dengan anak kandung.

